Ibu Tak Perlu Sayap untuk Menjadi Malaikat
(Kaderia)
Ibu, setiap kali aku bercerita tentangmu, air mataku tak mampu kubendung.
Ia jatuh begitu saja, tanpa aba-aba, saat aku mengenang segala kerja kerasmu,
rasa sakitmu, dan perjuanganmu demi anak-anakmu. Ibu, aku menulis ini bukan
karena aku sedih tapi karena aku sangat bangga memiliki sosok sepertimu, mungkin
dunia tak tahu betapa hebatnya dirimu dalam mengusahakan segalanya demi
kebahagiaanku.
Hai, teman-teman...
Izinkan aku bercerita sedikit tentang malaikat tanpa sayap yang
kumiliki. Dia bukan wanita karier, bukan pula pejabat, ia adalah ibu rumah
tangga biasa yang luar biasa. Ketangguhannya tak bisa diukur hanya dari status
atau jabatan, melainkan dari kasih sayang dan pengorbanan yang tak ternilai.
Setiap pagi, ia memulai harinya lebih awal dari siapa pun di rumah.
Sarapan disiapkan dengan telaten, memastikan keluarganya memulai hari dengan
penuh energi. Begitu anak-anaknya melangkah ke sekolah, ia tak lantas
beristirahat. Tetapi langsung menuju kebun untuk bekerja, menyambung hidup
dengan peluh dan tekad.
Di balik itu semua, aku tahu betapa lelahnya ia. Bukan hanya secara
fisik, tapi juga secara batin. Pekerjaan yang berat, yang mungkin tak semua
orang sanggup jalani, ia lakoni tanpa mengeluh. Hati yang pernah terluka, ia
rawat diam-diam. Tapi di hadapan kami, ia tetap tersenyum seolah-olah semua
baik-baik saja.
Bagi dia, anak-anak adalah segalanya.
Tak ada yang lebih penting di hidupnya selain masa depan mereka.
Demi pendidikan anak-anaknya, terutama si bungsu, ia rela melakukan apa pun.
Pekerjaan yang biasanya dilakukan laki-laki, ia kerjakan tanpa ragu. Siang
malam ia bekerja, membanting tulang, menahan lelah dan sakit, semuanya demi
satu harapan ialah agar anaknya bisa sekolah dan mempunyai masa depan yang lebih
baik.
Aku tahu, di balik ketegaran itu, ada hati yang juga rapuh. Ia
butuh tempat bersandar, seseorang untuk bercerita dan mengadu. Ia rindu sosok
ibu tempatnya dulu mencurahkan semua rasa. Tapi kini, ibu itu sudah tiada. Ia
memendam semuanya sendiri, menahan air mata yang tak sempat jatuh, demi tetap
kuat di mata anak-anaknya.
Ibu, kalau suatu saat nanti tulisan ini sampai ke tanganmu. Ketahuilah
aku melihatmu. Aku mengagumimu. Aku menyayangimu sedalam-dalamnya. Maaf jika
belum bisa jadi anak yang sepadan dengan perjuanganmu. Tapi aku janji, aku akan
terus berusaha demi bisa membalas sedikit saja dari apa yang telah kau beri. Kau
memang bukan malaikat bersayap, tapi bagiku, kaulah pahlawan sejati.
“Terima kasih, Ibu.”

Maa Syaa Allah, menyentuh sekali
BalasHapusMaasya Allah.. Terharu banget,,, nda terasa setiap kata yg dibaca dpt membuat bendungan air mataš„²semangat penulis semoga segala urusan ta dimudahkan oleh Allah SWT. Aamiin
BalasHapus