Langsung ke konten utama

 Saat Pulang Tak Lagi Sama

(Fika Khairiah)

Dia terus melangkah di antara puluhan pasang mata yang berkumpul, memperhatikan sosoknya yang menjadi penantian dari perantauan. Pikirannya kacau, wajahnya pucat, tubuhnya bergetar, dan matanya berlinang dengan langkah tertatih menuju tempat Sang Ayah terbaring, yang tertutup dengan sehelai kain.

Dengan tangan yang gemetar, ia membuka kain itu. Jarinya menyentuh pipi, kepala, tangan. “Dingin,” pikirnya, disusul oleh tangisan yang akhirnya tak bisa lagi ia tahan. Satu... dua... tiga hari berlalu. Ketidakhadiran Sang Ayah masih terasa asing baginya. Ia mencoba menyadari, berusaha mengikhlaskan, tetapi nyatanya semua itu adalah bentuk adaptasi yang paling sulit. Ia terus mencari, menyusuri setiap sudut rumah yang menjadi saksi kehidupan Ayahnya.

Ia membuka galeri ponsel, berharap menemukan kenangan, tapi hanya ada satu foto bersama. Tak ada video. Riwayat pesan pun hanya beberapa. Telepon? Bisa dihitung jari. Ia pun merebahkan tubuhnya di atas ranjang tempat Sang Ayah biasa tidur. Ponselnya ia letakkan di samping, lalu matanya terpejam. Ia mencoba mengingat, mengenang janji-janji dan harapan-harapan yang pernah ia bisikkan dalam hati saat masih jauh dari rumah.

“Kalau pulang... harus banyak jalan-jalan sama Ayah...”

“Kalau pulang... harus sering bercerita sama Ayah...”

“Kalau pulang... kalau pulang... dan kalau pulang..”

Tapi kenyataannya, saat pulang semua itu tak sempat terwujud. Harapan-harapan itu hanya tersimpan di kepala dan tidak pernah menjadi nyata. Ia terdiam, bertanya pada diri sendiri.

“Kenapa aku tak pernah benar-benar mewujudkannya?”

“Kenapa di ponselku tak banyak kenangan tentang Ayah? Seharusnya aku lebih sering mengambil video. Seharusnya aku lebih sering meluangkan waktu. Seharusnya...”

Namun, waktu telah berjalan. Saat membuka mata, ia menyadari bahwa yang tersisa hanya penyesalan dan rasa rindu yang tak tahu harus dititipkan ke mana. Namun, ia kemudian bangkit dan menyadari sesuatu bahwa ada harapan yang sejenak ia lupakan karena kesedihan yang mendalam.

“Doa.”

Satu kata itu terbesit dalam pikirannya. Ia menyadari bahwa doa seharusnya sudah menjadi senjatanya yang paling tajam, meski raga Sang Ayah telah pergi, doa tetap akan menyertainya sejauh apa pun itu. Ia menyadari bahwa, Allah telah memberikannya harapan dan kesempatan di setiap waktu. Seharusnya ia menyadarinya lebih cepat. Tapi pelukan dari rasa kehilangan membuatnya lupa bahwa sejatinya dunia hanya tempat untuk menyiapkan bekal dan semua yang ada di dunia ini akan kembali kepada-Nya.

“Mengikhlaskan itu sulit, tapi itu juga merupakan bentuk tertinggi dari cinta.”

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

  Dari Sudut Pandang Dia Kereta perjalanan akan segera berhenti di stasiun berikutnya, semakin dekat, semakin gelisah rasanya... Ada rasa sedih karena akan   berpisah dengan mereka, entah mengapa rasanya singkat, seakan perjalanan sangat cepat kulalui... Rasanya baru kemarin aku singgah di kereta perjalanan dakwah ini, rasanya baru kemarin aku ingin sekali turun di stasiun berikutnya, rasanya aku merasa asing dengan mereka, rasanya ada banyak rasa yang tercipta selama membersamai mereka, ternyata ada banyak hal baru yang kulalui bersama mereka, makan bersama, belajar bersama, jatuh dan bangun bersama... LPJA sebentar lagi, ingin rasanya membersamai lebih lama, namun ada hal lain yang harus kucapai di perjalanan ini, ada banyak amanah, namun harus memilih setelah banyak pertimbangan, pun kemarin sangat ingin menyudahi, terlebih partner sudah lebih dulu memilih berhenti dari perjalanan, namun ada beberapa orang yang akhirnya menjadi alasan bertahan di sini, diapun sebent...
 Manusia Hebat  For You ..... Teruntuk jiwa yang selalu kuat di tiap keadaan. Hi? Sudah bersyukur belum kamu untuk kemarin dan hari ini? Kamu baik-baik aja kan? Atau kamu bahkan sedang terluka? Sedang sedih? Bahkan lupa bersyukur? Dan sayang sama diri sendiri? Aku cuman mau bilang gini, semua ada takarannya masing-masing loh, kamu nggak mungkin bahagia selalu, dan juga tidak mungkin akan sedih terus. Anggap saja semua masalah itu bagian dari jalan kehidupan yang akan membuat kamu jadi dewasa. Kalau manusia yang lain tidak pernah bisa bikin kamu bahagia, jangan lupa kamu punya penciptamu ada Allah yang selalu bersamamu dan ada dirimu sendiri. Allah tidak akan pernah buat kamu kecewa, olehnya jangan terlalu berlarut dalam kesedihan, ya. Senyum yah, senyum yang lebar. Kalaupun kamu merasa capek wajar kok, tidak masalah, itu suatu hal yang wajar dialami oleh semua manusia. Katakan pada dirimu kamu itu sempurna, ciptakan bahagiamu jangan tunggu dan berharap dari orang lai...
  Ibu Tak Perlu Sayap untuk Menjadi Malaikat (Kaderia) Ibu, setiap kali aku bercerita tentangmu, air mataku tak mampu kubendung. Ia jatuh begitu saja, tanpa aba-aba, saat aku mengenang segala kerja kerasmu, rasa sakitmu, dan perjuanganmu demi anak-anakmu. Ibu, aku menulis ini bukan karena aku sedih tapi karena aku sangat bangga memiliki sosok sepertimu, mungkin dunia tak tahu betapa hebatnya dirimu dalam mengusahakan segalanya demi kebahagiaanku. Hai, teman-teman... Izinkan aku bercerita sedikit tentang malaikat tanpa sayap yang kumiliki. Dia bukan wanita karier, bukan pula pejabat, ia adalah ibu rumah tangga biasa yang luar biasa. Ketangguhannya tak bisa diukur hanya dari status atau jabatan, melainkan dari kasih sayang dan pengorbanan yang tak ternilai. Setiap pagi, ia memulai harinya lebih awal dari siapa pun di rumah. Sarapan disiapkan dengan telaten, memastikan keluarganya memulai hari dengan penuh energi. Begitu anak-anaknya melangkah ke sekolah, ia tak lantas beris...