Memaknai Kesabaran
(Atiyah Nasywa Harun)
Kadang capek juga ya, setiap kali curhat malah dibalas dengan satu kata keramat "Sabar."
Sudah seperti tombol cepat yang orang tekan kalau bingung mau jawab apa.
Padahal, yang lagi kita rasakan bukan sekadar "butuh disuruh sabar." Kita butuh didengarkan. Kita butuh divalidasi. Kita butuh diakui bahwa rasa sakit, kecewa, dan marah itu manusiawi.
Karena jujur saja, ada momen di mana "sabar" justru terasa seperti disuruh diam.
Seperti semua emosi kita itu tidak penting. Seperti capek yang kita rasakan cuma drama. Padahal Allah sendiri menciptakan marah sebagai bagian dari fitrah manusia.
"Jadi tidak apalah kita tunjukkan amarah sebagai respon ketidaksukaan atau ketidak nyamanan?" Begitukan, kata kita?
Tentu kita punya hak untuk marah.
Hak untuk mengeluh. Hak untuk mengaku kalau kita lagi tidak baik-baik saja.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam saja tidak bisa menonaktifkan sifat marahnya. Tapi tidak semua orang bisa marah sebagaimana marahnya Rasul kita shallallahu 'alaihi wasallam. Dalam Hadis Arbain diceritakan, ada seorang laki-laki meminta sebuah wasiat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah shallalahu 'alaihi wassalam pun bersabda, "Jangan marah". Ia mengulang pertanyaannya beberapa kali, dan beliau tetap berkata, "Jangan marah".
Artinya apa?
Sabar...
Sebenarnya jika kita sedang dalam keadan marah, justru dari situ kita bisa kenali diri sendiri lebih dalam
"Apa sih yang sebenernya menyakiti saya?"
"Apa yang membuat saya sampai selelah ini?"
"Bagian mana yang perlu kuselesaikan, bukan cuma kutahan?"
Setelah badai perasaan itu berlalu, selalu ada satu pintu yang Allah buka: kesabaran. Dan di titik itu, sabar bukan lagi "kalimat penghibur seadanya"
Sabar bukan berarti pura-pura tidak merasa sakit. Bukan juga berarti kita harus jadi manusia super yang tidak boleh goyah.
Sabar itu ketika kita bisa marah, tapi milih untuk tidak meledak.
Kita boleh kecewa, tapi jangan menyerah. Kita boleh sakit, tapi tetap jalan pelan-pelan.
Sabar itu proses, bukan switch on/off.
Ingat. Sekelas nabi saja diuji besar-besaran kesabarannya.
Mulai dari kematian orang tuanya, disusul kakeknya, pamannya, anak-anaknya, kemudian istrinya. Belum lagi menghadapi kapala batunya orang-orang Quraisy waktu itu. Tapi endingnya?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam menjadi orang paling nomor satu, pemimpin umat Islam. Bahkan Surga adalah balasan terbaik untuk kesabarannya selama ini.
Dan mungkin, sama halnya kita.
Di balik semua kalut, frustasi, dan rasa ingin menyerah itu... Allah sebenarnya membukakan kita kesempatan emas.
Kesempatan untuk naik level. Kesempatan mengumpulkan pahala yang tidak terbayangkan besarnya. Kesempatan untuk lebih dekat sama Allah dengan cara yang tidak semua orang bisa dapatkan.
Karena sabar bukan hukuman. Sabar itu hadiah—yang bentuknya kadang menyamar jadi masalah.
Dan kalau kita lagi di fase ini: lelah, marah, atau bahkan muak... ingatlah satu hal:
"Allah sedang kasih kita kesempatan langka—kesempatan untuk meraih lebih banyak pahala lewat kesabaran yang kita pilih, bukan cuma yang kamu dengar dari orang lain".
Komentar
Posting Komentar