Menunaikan Janji Mulia
(Azizah Yunus)
Aku sebagai anak yang diharapkan
agar terwujudnya cita-cita mulia kedua orang tua yang belum tertuntaskan.
Mereka menggantungkan harapan pada sebuah sepasang mahkota kemuliaan yang
dijanjikan oleh para penghafal Al-Qur’an di akhirat kelak. Impian dan cita-cita
yang harus kuperjuangkan demi kebahagiaan mereka. Walau berbeda dengan
anak-anak yang banyak mendapatkan penghargaan yang istimewa atas prestasi yang
mereka miliki. Akan tetapi, perjuanganku aku hadiahkan sebagai penghargaan yang
mulia buat kedua orang tuaku. Walau nyaris menyerah, tapi ada doa yang selalu membuatku bertahan, yaitu
doa ibuku yang tulus.
Aku memulai menghafal Al-Qur’an
sejak duduk dibangku kelas 6 MI. Pada saat itu ada sebuah acara ORMAS Muslimah
di kampungku yaitu MWC Pituaparus. Mereka mengadakan acara khusus buat
anak-anak seusiaku, pada saat itu yakni Tahfidz Qur’an Cilik angkatan pertama.
Di acara ini aku mulai memiliki teman bahkan menjadi sahabat penaku hingga saat
ini mondok di kampus perjuangan.
Ayat-ayat demi ayat aku hafalkan dan
berupaya untuk menyelesaikan target yang telah ditentukan. Hingga di penghujung
acara itu sekaligus penutup acara Tahfidz Cilik, aku hanya menghafalkan
beberapa ayat saja. Namun sangat disayangkan, pada akhirnya acara Tahfidz
Qur’an Cilik itu dialihkan ke salah satu Ma’had yang belum ada program
tersebut dan digantikan dengan Ma’had Tahfidz Qur’an Al-Mu’minun. Dimana
saat itu, salah satu santriwatinya ialah sebagian kecil dari peserta Tahfidz
Qur’an Cilik. Aku dan sahabat seperjuangan.
Di Ma’had Tahfidz itu terdapat
peraturan-peraturan salah satunya ialah jika para santri tidak menyetorkan
hafalan di waktu yang telah ditentukan, maka hukuman wajib ialah mendapatkan
beberapa pukulan pada kedua telapak kaki. Pada saat itu aku cuman bertahan satu
tahun, dan kulanjutkan dengan kelas formal yang terdapat pelajaran-pelajaran
umum di ma’had yang sama. Hingga saat aku telah berada di bangku kelas 3
MTS, aku mendengar berita gembira bahwasanya sahabatku di Tahfidz Qur’an Cilik
dan Ma’had Tahfidz telah menyelesaikan hafalan 30 juz. Pada saat itu pula aku
terdorong untuk kembali melanjutkan hafalanku, sebelum aku berhenti di lembaga
Tahfidz itu. Aku telah berjanji untuk menyelesaikan hafalanku 30 juz untuk
melanjutkannya di bangku SMA dengan ma’had yang sama.
Pada akhirnya saat acara wisuda
tiba. Pencapaian target aku alhamdulillah ada beberapa juz yang telah aku capai.
Hampir saja aku berputus asa. Namun sebelum acara wisuda itu tiba, para
ustadzah mensosialisasikan kampus STIBA sekaligus organisasi mahasiswa di
kampus itu. Alhamdulillah aku mulai berinisiatif untuk kembali menunaikan janji
mulia.
Haa… ma’had lagi, setelah aku
mencoba menimba ilmu syar’i di ma’hadku selama 6 tahun, aku dipertemukan
lagi di kehidupan asrama yang tak kalah istimewa buatku. Yah! Itulah STIBA
Makassar. Impian yang telah lama tertunda, semoga dengan izin Allah dapat
kutunaikan janji mulia itu.
STIBA Makassar adalah harapan terakhirku
untuk mewujudkan harapan kedua orang tuaku. Semoga di langit biru ini, In syaa Allah
janji mulia itu akan tercapai. Tak ingin berharap dengan yang belum pasti, tapi
aku terus berjuang agar harapan itu terwujudkan.
✍ Thea Adzkah
✒ DiaryQ_20

Komentar
Posting Komentar