Langsung ke konten utama

 Jika Hari Terakhirku Tanpa Kebaikan

Pernahkah kita membayangkan, bagaimana jika suatu hari kita wafat, sedangkan di hari itu tak ada satu pun kebaikan yang kita lakukan? Pertanyaan sederhana ini dilontarkan seorang adik kelas saat berjalan bersama, namun menjadi renungan mendalam yang tak mudah lepas dari pikiran. Pertanyaan itu menohok, mengingatkan bahwa kematian adalah rahasia yang bisa datang kapan saja, tanpa pemberitahuan. Sering kali kita menjalani hari-hari dengan rutinitas biasa, bahkan mungkin dalam kelalaian. Lalu bagaimana jika ternyata hari itu adalah hari terakhir kita? Apa yang akan kita bawa menghadap Allah?

Manusia cenderung berpikir bahwa ia masih punya banyak waktu untuk memperbaiki diri. “Nanti saja, masih ada besok,” begitu gumam hati saat menunda berbuat kebaikan. Namun, jika besok itu tak pernah datang, apa yang tersisa? Hanya penyesalan yang tak berujung. Seharusnya, setiap hari adalah peluang untuk mengukir amal kebaikan, sekecil apa pun itu. Rasulullah SAW bersabda,

 "Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, walau hanya dengan bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri-seri." (HR. Muslim)

Maka, bahkan senyuman pun bisa menjadi amal jika diniatkan dengan tulus. Namun, jika hari terakhir kita hanya dipenuhi dengan keluh, kesah, atau bahkan dosa adakah cukup bekal untuk dipertanggungjawabkan? Pertanyaan ini juga mengajarkan betapa pentingnya hidup dengan kesadaran akhirat. Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.”

Kesadaran bahwa kematian bisa datang kapan saja seharusnya menjadi alarm untuk tidak menunda-nunda kebaikan. Berbuat baik tak harus besar, mungkin dengan mengucapkan salam lebih dulu, membantu yang lemah, atau sekadar menjaga lisan agar tidak menyakiti.

Ketika adik kelas itu bertanya, seolah hati ini diguncang. Betapa sering waktu berlalu tanpa makna. Betapa sering hari-hari terbuang tanpa kebaikan berarti. Namun, kesadaran ini seharusnya tak berakhir hanya sebagai renungan, melainkan menjadi pemantik untuk berubah. Di tengah obrolan kami yang masih penuh dengan renungan tentang wafat tanpa kebaikan, sebuah suara sirene ambulance tiba-tiba memecah keheningan. Kami menepi, memberikan jalan, dan sesaat terpaku ketika ambulans itu lewat, membawa mayat di dalamnya. Tidak ada suara yang keluar dari kami setelah itu. Hanya keheningan yang menggantung di udara, seolah alam turut mengingatkan tentang realitas kehidupan yang sesungguhnya.

Rasanya, ambulans itu bukan hanya membawa jenazah, tetapi juga pesan dari Allah bahwa kehidupan ini hanyalah perjalanan singkat menuju akhirat. Kami semua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 57)

Pemandangan itu terasa menohok. Barangkali, orang yang ada di dalam ambulans tersebut juga memiliki rencana dan mimpi. Namun, kini semua itu tak lagi penting. Yang tersisa hanyalah amal yang telah diperbuat semasa hidupnya. Sejenak, aku merenung lebih dalam. Bagaimana jika itu adalah aku? Bagaimana jika aku yang sedang dibawa ke liang kubur tanpa ada kesempatan untuk menambah amal? “Bayangkan,” gumamku lirih, “apa yang terjadi jika hari ini adalah hari terakhir kita, dan kita menghabiskannya hanya dengan kelalaian?”

Adik kelas yang tadi bertanya pun terlihat termenung. “Kak,” katanya pelan, “kalau benar itu terjadi, aku takut, aku bahkan belum siap. Apa yang bisa kita lakukan supaya tidak sia-sia?” Aku menarik napas panjang sebelum menjawab, mencoba menenangkan diri sendiri sekaligus dia. “Mungkin caranya adalah dengan memulai sekarang. Jangan tunggu waktu ideal, karena waktu terbaik untuk berbuat kebaikan adalah saat ini. Bahkan langkah kecil kita di jalan kebaikan sudah cukup menjadi bekal, asal terus konsisten.”

Ambulans yang membawa jenazah itu adalah pertanda yang nyata. Setiap hari, kita melihat atau mendengar tentang kematian. Namun, mengapa sering kali kita menganggapnya jauh dari diri sendiri? Seolah-olah itu hanya akan terjadi pada orang lain. Padahal, bisa jadi esok nama kita yang disebut dalam doa jenazah. Bisa jadi, langkah-langkah kita hari ini adalah yang terakhir. Tidak ada yang tahu kapan giliran kita tiba.

Aku teringat kisah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang sangat takut kepada kematian. Ketika ia melihat jenazah, ia menangis, seraya berkata, “Inilah ujung dari dunia yang selama ini dikejar.” Mungkin, itu adalah cara Allah menegur kami. Agar kami tidak lupa bahwa waktu terus berjalan, dan kematian semakin dekat. Namun, ketakutan terhadap kematian tidak seharusnya membuat kita menyerah, melainkan menjadi motivasi untuk memperbaiki diri setiap hari. Sebagaimana nasihat Rasulullah SAW,

“Cukuplah kematian sebagai nasihat.” (HR. Tirmidzi)

Maka, daripada takut yang membelenggu, mari jadikan ketakutan itu sebagai kekuatan. Kekuatan untuk lebih banyak berbuat kebaikan, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan mendekatkan diri kepada Allah. Ambulance itu menghilang di tikungan jalan, tetapi pesan yang dibawanya tetap tinggal di hati kami. Kehidupan ini memang penuh misteri. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa kita tidak bisa menghindar dari kematian.

Hari itu, langkah kami menjadi lebih pelan, seolah ingin lebih menghargai setiap detik yang tersisa. Aku berbisik dalam hati, “Ya Allah, jadikan sisa hidup kami ini penuh dengan kebaikan. Jangan biarkan kami wafat dalam keadaan lalai. Ampuni kekurangan kami dan bimbing kami menuju jalan-Mu.” Karena, pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa lama kita bernapas, tetapi seberapa bermanfaatnya setiap tarikan napas kita untuk diri sendiri, orang lain, dan agama kita. Ambulans itu mengingatkan: Jangan tunggu esok untuk berbuat baik, karena esok mungkin tak pernah datang.

Kita tidak pernah tahu kapan “hari terakhir” itu tiba, tapi kita selalu bisa memilih untuk menjadikan setiap hari sebagai peluang beramal. Setiap langkah, kata, dan niat bisa menjadi persembahan terbaik kepada-Nya. Karena sejatinya, kehidupan ini bukan tentang seberapa lama kita hidup, tapi seberapa berarti hidup kita untuk diri sendiri, orang lain, dan untuk menggapai ridha-Nya.

"Ya Allah, jadikanlah setiap hari dalam hidup kami penuh dengan kebaikan, dan andai ini hari terakhir kami, terimalah amal-amal kami meski hanya setitik kecil."

 🖉 Mustasyima 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

  Dari Sudut Pandang Dia Kereta perjalanan akan segera berhenti di stasiun berikutnya, semakin dekat, semakin gelisah rasanya... Ada rasa sedih karena akan   berpisah dengan mereka, entah mengapa rasanya singkat, seakan perjalanan sangat cepat kulalui... Rasanya baru kemarin aku singgah di kereta perjalanan dakwah ini, rasanya baru kemarin aku ingin sekali turun di stasiun berikutnya, rasanya aku merasa asing dengan mereka, rasanya ada banyak rasa yang tercipta selama membersamai mereka, ternyata ada banyak hal baru yang kulalui bersama mereka, makan bersama, belajar bersama, jatuh dan bangun bersama... LPJA sebentar lagi, ingin rasanya membersamai lebih lama, namun ada hal lain yang harus kucapai di perjalanan ini, ada banyak amanah, namun harus memilih setelah banyak pertimbangan, pun kemarin sangat ingin menyudahi, terlebih partner sudah lebih dulu memilih berhenti dari perjalanan, namun ada beberapa orang yang akhirnya menjadi alasan bertahan di sini, diapun sebent...
  Ibu Tak Perlu Sayap untuk Menjadi Malaikat (Kaderia) Ibu, setiap kali aku bercerita tentangmu, air mataku tak mampu kubendung. Ia jatuh begitu saja, tanpa aba-aba, saat aku mengenang segala kerja kerasmu, rasa sakitmu, dan perjuanganmu demi anak-anakmu. Ibu, aku menulis ini bukan karena aku sedih tapi karena aku sangat bangga memiliki sosok sepertimu, mungkin dunia tak tahu betapa hebatnya dirimu dalam mengusahakan segalanya demi kebahagiaanku. Hai, teman-teman... Izinkan aku bercerita sedikit tentang malaikat tanpa sayap yang kumiliki. Dia bukan wanita karier, bukan pula pejabat, ia adalah ibu rumah tangga biasa yang luar biasa. Ketangguhannya tak bisa diukur hanya dari status atau jabatan, melainkan dari kasih sayang dan pengorbanan yang tak ternilai. Setiap pagi, ia memulai harinya lebih awal dari siapa pun di rumah. Sarapan disiapkan dengan telaten, memastikan keluarganya memulai hari dengan penuh energi. Begitu anak-anaknya melangkah ke sekolah, ia tak lantas beris...
  Penjara Bagi Orang-orang Beriman (Andi Meranti) Apakah kalian pernah mendengar istilah ‘Dunia adalah Penjara Bagi Orang-Orang Beriman’? Pada awalnya aku menganggap bahwa itu hanyalah istilah yang dibuat oleh mereka-mereka yang taat beragama. Namun setelah merasakannya sendiri, barulah aku menyadari bahwa istilah itu memang benar adanya. Islam dikenal dengan banyaknya aturan, perintah-perintah yang harus dilaksanakan, serta larangan-larangan yang wajib ditinggalkan. Aku yakin sejak kecil kita semua pasti sudah pernah diajarkan dasar-dasar agama—entah itu dari orang tua, guru-guru di sekolah, atau para ustaz dan ustazah di tempat mengaji. “Kita harus rajin salat supaya masuk surga.” “Kalau tidak pakai jilbab berdosa loh… nanti masuk Neraka.” Kalimat-kalimat tersebut pasti sudah tidak asing di telinga kita. Kalimat yang menjadi ‘senjata’ andalan para orang tua, dan ajaibnya ampuh membuat kita patuh pada perintah mereka kala itu. Namun seiring bertambahnya usia dan berk...