Langsung ke konten utama

 Penawar

Diantara riuhnya dunia, yang riuhnya tak sedikit memakan korban, terdapat anak manusia yang berdiam diri di dalam kesibukan, ditemani satu lampu redup menemani kesunyian ruang yang gelap sebagai penerang. Ia mengamati sang pena yang terus menari di atas kertas putih tanpa noda, meninggalkan coretan mengenai kehidupan yang tak pernah sunyi oleh tantangan dan rintangan. Pena itu terus menari dengan indah, mengikuti irama pikiran sang pemilik. Pikiran yang jarang mengikuti keinginan membuatnya tak tertata dan berantakan. 



Terus berusaha mengeluarkan keresahan melalui tarian sang pena, dengan berharap bisa memeluk dirinya, yang nampak begitu kuat, namun nyatanya begitu rapuh. Yang nampak rapi dengan senyuman, namun nyatanya berantakan. Yang nampak sehat, namun nyatanya berpenyakit. Ia memeluk dirinya dengan segala cara, menenangkan diri dengan segala kesibukan, menghibur dirinya dengan segala sesuatu yang dipersembahkan dunia padanya. Namun pada akhirnya, ia kembali dalam keterpurukannya.

"duhai hanya lelah yang kuterima. " keluhnya

Ia bergegas meninggalkan usahanya, mencari penawar akan hal yang dideritanya. Hingga pada akhir kaki menuntunnya menjauh dari tempat, seketika terbersit di dalam hatinya akan firman sang pemilik semesta yang kadang membuatnya ragu dan tak percaya, akan-Nya.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 153)

Hingga ia membulatkan niat, memantapkan langkah, dan memaksa diri meraih segayung air dan berwudhu. Dingin air menyentuh kulitnya, membasahi wajah lesuh yang dipenuhi keputus asaan, dinginnya meredakan rasa panas yang dirasakan. Kembali langkahnya begitu mantap mendekati sisi tempat peristirahatan, menatapi kain putih yang terletak begitu rapi, disertai sajadah merah di sampingnya. Ia pun meraih kain tersebut dan memakainya, lalu membentangkan sajadah di atas lantai tempatnya akan bersimpu.

Hingga lirih suara melesat begitu indah mengucapkan takbir dari bibirnya. Membuat seolah berada di sebuah ruangan di dalam ruangan, memberikan rasa aman atas dirinya,  rasa aman akan keluh kesah yang akan disampaikan pada sang pemilik jiwa.

Di akhir salatnya ia mengangkat tangannya menengadah ke atas langit, dengan wajah yang dipenuhi kepasraan, disertai hati yang remuk, diri yang rapuh dan berpenyakit datang menampakkan diri di hadapannya. Tak dapat membendung air matanya, yang membuat wajahnya basah tak tersisa, entah ia merasa bingung dengan apa yang terjadi, perasaan yang telah lama dipendamnya tumpah seolah air yang tumpah dari gelas yang pecah. Namun hal itu perlahan memberikannya rasa tenang, walau keluh tetap tak henti dikeluarkanya. Ia kembali teringat akan firmannya,

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

"apabila hamba-hamba-ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang aku, sesungguhnya aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-ku dan beriman kepada-ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. " (Q.S. A-Baqarah : 186)

"duhai, kenapa baru sekarang kudapati hal ini, yang dekat namun terabaikan, sungguh, betapa buruk diri ini."

Ia terus mengeluh akan tindakan yang disadari jauh dari rabbnya. Berharap pengampunan masih tersedia untuknya, sampai pada titik penyesalan, ia menyadari, adunya menjadi ketenangannya, salat menjadi penguatnya, sabar atas apa yang menimpa menjadi teman perjalanan hidupnya.

✒Hijrayanti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

  Dari Sudut Pandang Dia Kereta perjalanan akan segera berhenti di stasiun berikutnya, semakin dekat, semakin gelisah rasanya... Ada rasa sedih karena akan   berpisah dengan mereka, entah mengapa rasanya singkat, seakan perjalanan sangat cepat kulalui... Rasanya baru kemarin aku singgah di kereta perjalanan dakwah ini, rasanya baru kemarin aku ingin sekali turun di stasiun berikutnya, rasanya aku merasa asing dengan mereka, rasanya ada banyak rasa yang tercipta selama membersamai mereka, ternyata ada banyak hal baru yang kulalui bersama mereka, makan bersama, belajar bersama, jatuh dan bangun bersama... LPJA sebentar lagi, ingin rasanya membersamai lebih lama, namun ada hal lain yang harus kucapai di perjalanan ini, ada banyak amanah, namun harus memilih setelah banyak pertimbangan, pun kemarin sangat ingin menyudahi, terlebih partner sudah lebih dulu memilih berhenti dari perjalanan, namun ada beberapa orang yang akhirnya menjadi alasan bertahan di sini, diapun sebent...
  Ibu Tak Perlu Sayap untuk Menjadi Malaikat (Kaderia) Ibu, setiap kali aku bercerita tentangmu, air mataku tak mampu kubendung. Ia jatuh begitu saja, tanpa aba-aba, saat aku mengenang segala kerja kerasmu, rasa sakitmu, dan perjuanganmu demi anak-anakmu. Ibu, aku menulis ini bukan karena aku sedih tapi karena aku sangat bangga memiliki sosok sepertimu, mungkin dunia tak tahu betapa hebatnya dirimu dalam mengusahakan segalanya demi kebahagiaanku. Hai, teman-teman... Izinkan aku bercerita sedikit tentang malaikat tanpa sayap yang kumiliki. Dia bukan wanita karier, bukan pula pejabat, ia adalah ibu rumah tangga biasa yang luar biasa. Ketangguhannya tak bisa diukur hanya dari status atau jabatan, melainkan dari kasih sayang dan pengorbanan yang tak ternilai. Setiap pagi, ia memulai harinya lebih awal dari siapa pun di rumah. Sarapan disiapkan dengan telaten, memastikan keluarganya memulai hari dengan penuh energi. Begitu anak-anaknya melangkah ke sekolah, ia tak lantas beris...
  Penjara Bagi Orang-orang Beriman (Andi Meranti) Apakah kalian pernah mendengar istilah ‘Dunia adalah Penjara Bagi Orang-Orang Beriman’? Pada awalnya aku menganggap bahwa itu hanyalah istilah yang dibuat oleh mereka-mereka yang taat beragama. Namun setelah merasakannya sendiri, barulah aku menyadari bahwa istilah itu memang benar adanya. Islam dikenal dengan banyaknya aturan, perintah-perintah yang harus dilaksanakan, serta larangan-larangan yang wajib ditinggalkan. Aku yakin sejak kecil kita semua pasti sudah pernah diajarkan dasar-dasar agama—entah itu dari orang tua, guru-guru di sekolah, atau para ustaz dan ustazah di tempat mengaji. “Kita harus rajin salat supaya masuk surga.” “Kalau tidak pakai jilbab berdosa loh… nanti masuk Neraka.” Kalimat-kalimat tersebut pasti sudah tidak asing di telinga kita. Kalimat yang menjadi ‘senjata’ andalan para orang tua, dan ajaibnya ampuh membuat kita patuh pada perintah mereka kala itu. Namun seiring bertambahnya usia dan berk...