Penerimaan yang Menenangkan
"Kehidupan setiap orang terletak pada saat sekarang, karena
masa lalu sudah dihabiskan dan masa depan tidaklah pasti." (M. Aurelius)
Masalah terkadang datang seperti gerbong kereta api, panjang dan
sambung menyambung. Saat itulah kita sering mempertanyakan kehidupan ini.
Mengapa kita hidup jika hanya untuk menyelesaikan masalah demi
masalah?
Mengapa kita hidup jika hanya diberi duka dan luka?
Entah mengapa, hidup ini pun semakin terasa berat ketika melihat
kehidupan orang lain yang tampak lebih menyenangkan. Mengapa kita diberi hidup
seperti ini dan orang lain tidak?
Mengapa orang lain bisa hidup bahagia sedangkan untuk sekedar
bertahan hidup saja bagi kita sulit?
Pernahkah kamu mempertanyakan itu semua?
Beban hidup yang terasa berat membuat kita menginginkan kehidupan
orang lain, mempersalahkan takdir Tuhan, dan sulit menerima diri sendiri. Pasti
melelahkan bukan memiliki persepsi yang demikian?
Padahal ada cara terbaik untuk berdamai dengan itu semua, yakni
menerima dengan penerimaan yang ikhlas atas apapun takdir Tuhan.
Mengapa harus menerima?
Karena takdir Tuhan bukanlah wilayah yang bisa kita kendalikan.
Kita tidak selalu bisa menghindar dari masalah. Semua orang yang
masih hidup di dunia ini pasti punya masalah. Namun, yang bisa kita kendalikan
dari masalah adalah respons kita terhadap masalah tersebut. Kita bisa meresponnya
sebagai bentuk beban hidup ataukah menganggapnya sebagai ujian yang memang
perlu ditempuh untuk naik ke level yang lebih tinggi. Persepsi itu bisa kita
bangun dengan mengubah perspektif kita dalam memandang sebuah masalah.
Saat berdiri di depan cermin, terkadang ada saja perasaan tidak
puas yang muncul dalam diri kita karena merasa ada bagian-bagian yang dianggap
sebagai kekurangan. Padahal, kondisi fisik yang kita miliki saat ini adalah
bawaan lahir yang tidak bisa kita minta maupun kita tolak. Bawaan lahir adalah
takdir yang tidak bisa kita kendalikan kecuali kita terima.
Hanya saja meskipun sudah tahu mengenai hal itu, kita masih saja
murung karena ketidakpuasan tersebut. Kita sulit menerima kekurangan diri
sendiri karena ingin terlihat sempurna di depan orang lain. Dan fenomena ini
ternyata ditangkap baik oleh orang-orang jenius dengan menghadirkan berbagai
filter kamera yang membuat kita merasa bahagia meskipun hanya dalam dunia maya.
Dengan menggunakan filter kamera, kita bisa mengubah jenis rambut
yang disukai, hidung yang jadi tampak mancung, wajah mulus tanpa berjerawat,
kulit putih berseri, flek hitam tersamarkan, dan bisa terlihat lebih tinggi
ataupun langsing. Bahagia bukan, melihat gambar di dalam versi yang kita mau?
Kita memang bisa bahagia sementara tetapi kenyataannya hidup dalam
merekayasa semacam itu hanya akan menimbulkan kecemasan baru. Rasa tidak
percaya diri yang lebih tinggi, karena sadar bahwa yang ada dalam gambar
bukanlah sepenuhnya diri kita. Dan itu membuat kita cemas terhadap pandangan
orang lain jika melihat diri kita yang sebenarnya.
"Jangan-jangan mereka tidak bisa menerima aku apa
adanya?"
Padahal tanpa disadari, kitalah yang tidak bisa menerima diri
sendiri. Kita memandang buruk tubuh kita karena pengaruh dari luar. Misalnya,
kita jadi tidak menyukai kulit kita yang gelap karena berbagai produk
kecantikan mengukuhkan asumsi bahwa cantik itu jika memiliki kulit yang putih.
Selain itu, ada juga orang-orang yang menganggap dirinya buruk karena memiliki
tubuh yang terlalu tinggi ataupun terlalu pendek. Ia menganggap buruk, karena
berada dalam standar pergaulan yang memandang fisik mereka berbeda dengan yang
lain.
Pandangan kita terhadap diri sendiri itu sifatnya tidak permanen.
Jika sekarang kita merasa buruk dengan kulit yang gelap, bisa jadi suatu hari
kita merasa beruntung karena berada di lingkungan yang tepat. Jika sekarang
kita merasa terlalu tinggi bagi orang Indonesia, suatu hari bisa jadi kita
merasa paling beruntung karena ternyata memiliki pasangan orang bule.
🖋️cttnflnah_

Komentar
Posting Komentar