Dunia dan Manusia
"Takut menghadapi dunia". Ungkapan ini dalam sekejap membayangi ranah pemikiran saya. Mungkin juga sebagian dari kalian menghadapi hal yang serupa. Dunia sangat luas dipenuhi dengan pernak-pernik kehidupan. Tidak semua pernak-pernik itu menjadi bagian penting bagi diri kita. Manusia dituntut memilih dan memilah pernak-pernik yang mendukung dan menyukseskan kehidupan ini. Memilah dan memilih bukanlah pilihan tapi sebuah keharusan demi keeksisan hidup sebagai manusia. Memilih dan memilah harus dengan ketelitian, presisi, dan kesigapan.
Berpikir ke universal di dunia ini membutuhkan energi yang dahsyat. Ini pula yang mendasari keluasan imajinasi setiap orang. Karena luasnya dunia ini, para ilmuwan dan ahli matematika yang sangat cemerlang dan dikenal umat manusia, Isaac Newton berkata, "Saya tidak tahu bagaimana dunia memandang saya, tetapi bagi saya sendiri, saya merasa seperti seorang bocah lelaki yang bermain di pantai, asyik mencari batu kecil paling halus atau kerang yang lebih cantik dari kerang biasa, sementara lautan kebenaran yang luas dan belum diteliti terbentang di hadapan saya."
Karena luasnya dunia ini dan keberagam pernak-pernik di dalamnya, tidak ada alasan umat manusia merasa hidupnya panjang. Dunia tidak selebar daun kelor, dunia tak luas dan selebar mata memandang. Dunia tak sejauh pelari maraton berlari. Memandang dunia dengan penuh kerumitan akan melahirkan kesadaran sebagaimana Isaac Newton memandang dunia. Alangkah-langkahnya, tatkala kesadaran itu bersandar pada Kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dunia dan manusia harus berintegrasi. Dunia merupakan tempat ujian bagi manusia. Sehingga umat membutuhkan dunia. Dunia menjadi tempat persinggahan umat manusia sehingga tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Dunia merupakan wadah kesuksesan umat manusia. Maka tidak ada alasan tidak sukses di dunia ini.
Kesuksesan tidak langsung terbayang di depan pelupuk mata. Kesuksesan itu tidak langsung turun dari langit dan mendarat di pangkuan kehidupan kita, tetapi kesuksesan memerlukan prinsip aksi bukan reaksi, keaktifan, bukan kepasifan, kesabaran, bukan amarah. Kita seyogyanya bergerak karena idealisme bukan bergerak karena ikut-ikutan atau paksaan dari orang lain. Kita harus aktif menanggapi perkembangan dunia dan zaman dengan idealisme bukan justru diperbudak dunia dan zaman dengan kepasifan, diam. Kita sangat pantas bersabar dalam gerakan perubahan menuju kebaikan. Bukan dengan amarah, anarki, barbar, dan segala tindakan yang mencabik-cabik kemanusiaan.
Memang, dunia tampak menakutkan manakala manusia tidak pernah siap menghadapinya, tidak pernah siap menjelajahi pernak-pernik kehidupan, tidak pernah siap menjelajahi mutiara-mutiara yang terbenam pada dasarnya, dan tidak pernah siap menguasai dunia perhiasan-perhiasan dengan idealisme.
Pantaskah dunia dijadikan perhiasan?
Wallahu a'lam
🖊️ Satriani
.png)
🔥
BalasHapus