KARYA INI DISUSUN UNTUK MENGIKUTI LOMBA PENULISAN ESAI MUSLIMAH'S EXPO 2022
Judul Esai:
Refleksi Jejak Para Salaf dalam Dunia Literasi Menuju Titik Balik Kebangkiran Peradaban Islam
Oleh: Resky Harfiani (Universitas Negeri Makassar)
Sejarah kejayaan peradaban islam merupakan suatu fakta sejarah yang diakui oleh dunia. Bukan hanya dikalangan umat muslim namun bahkan hingga kalangan non muslim juga mengakui kejayaan islam yang mendunia dengan berdasarkan bukti-bukti kuat yang menjadi jejak-jejak kekuasaan peradaban islam dimasa itu. Peradaban Islam dianggap sebagai salah satu peradaban yang paling besar pengaruhnya terhadap dunia. Bekas-bekas kekuasaan islam tersebut dapat disaksikan diberbagai negara yang sempat dikuasai seperti Baghdad (Irak), Andalusia (Spanyol), Fatimiyah (Mesir), Ottoman (Turki), Damaskus, Kufah, Syria, dan sebagainya.
Masa- masa kejayaan islam tersebut dimulai dari masa Rasulullah, kemudian diteruskan di masa Khulafaur Rasyidin, hingga masa tabiin dan munculnya berbagai dinasti Islam. Tak heran jika generasi-generasi ini kemudian dijuluki sebagai "Generasi Terbaik". Bukan hanya dari segi aqidah dan akhlak namun secara menyeluruh diseluruh aspek kehidupan, seperti Sosial, politik, ekonomi, budaya hingga pendidikan mampu menjadi bukti betapa eksisnya dakwah islam dimasa tersebut.
Gambaran Kondisi umat muslim saat ini, nyatanya sangat jauh berbeda jika disandingkan dengan sejarah kejayaan islam yang pernah diraih tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa kondisi umat muslim saat ini sangat terpuruk diberbagai sektor kehidupan. Saat ini peradaban dunia justru berkiblat pada negara-negara barat yang menguasai dunia dengan segala kekuatan yang dimiliki, bahkan kekuasaan mereka turut mempengaruhi umat Islam diberbagai belahan dunia. Umat Islam saat ini sangat bergantung terhadap negara barat sebagai negara adi kuasa yang didukung dengan semakin kuatnya pengaruh globalisasi dan digitalisasi yang terus mereka canangkan di berbagai sektor. Lantas mungkinkah umat islam mampu kembali eksis dan meraih puncak kejayaannya kembali?
Islam adalah agama yang selamat, Allah telah menjanjikan bagaimana Islam pasti akan dimenangkan dan ditegakkan. Namun, siapa yang akan memenangkan dan menegakkan Islam kembali adalah pilihan dari umat muslim itu sendiri. Jika ingin menjadi bagian dari orang-orang yang akan menegakkan kembali kejayaan Islam, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengidentifikasi faktor utama yang menjadi penyebab runtunya Islam saat ini, kemudian menentukan langkah atau kontribusi apa yang mampu kita sumbangkan demi tegaknya peradaban Islam.
Ma'ruf Misbah, dalam tulisannya dalam buku yang berjudul Sejarah Peradaban Islam menuliskan, “Setidaknya ada dua sebab dan proses pertumbuhan peradaban Islam, baik dari dalam maupun luar Islam. Dari dalam Islam, perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam itu karena bersumber langsung dari Al-Qur'an dan sunnah yang mempunyai kekuatan luar biasa. Kemurnian ajaran islam tersebut lalu berkembang menjadi tradisi pemahaman terhadap Al- Qur'an sehingga lahir intelektual Islam”.
Al-Qur'an dan Sunnah adalah kunci utama untuk mencapai kejayaan islam tersebut. Jika negara barat mampu meraih kejayaan karna meninggalkan kitab sucinya, maka sebaliknya umat islam justru kian runtuh disebabkan semakin jauhnya dari Al-Qur'an sebagai pedoman hidupnya. Dalam Al-Qur'an perintah pertama yang disampaikan dalam surah Al-Alaq ayat 1-5 adalah perintah untuk membaca. Maka indikator utama untuk mencapai kembali kejayaan islam bagi umat muslim adalah dengan membaca dan memahami, serta mengamalkan ajaran Al-Qur'an sebagai pedoman yang mutlak harus diikuti oleh seorang muslim.Fakta- fakta sejarah membuktikan, berbagai keberhasilan dalam sejarah kejayaan islam tidak lepas dari kecintaan mereka terhadap ilmu. Terutama membaca dan menulis. Seorang Prof Raghib as-Sirjani berpendapat, tidak ada satu masyarakat pun di atas kaum Muslimin dalam hal kecintaan terhadap buku dan perhatian terhadap perpustakaan. Hal ini menunjukkan bahwa kejayaan islam tidak lepas dari kecintaan para generasi terdahulu terhadap dunia literasi.
Peradaban Islam adalah peradaban yang memiliki segudang khazanah intelektual dan pemikiran, diantaranya berbentuk naskah-naskah (manuskrip) dalam berbagai lintas disiplin ilmu yang mencerminkan tradisi tulis ulama masa silam.
Menurut penuturan Prof. Dr. Faisal al-Hafyan (Direktu Institut Manuskrip Arab Kairo), bila ditaksir, jumlah naskah manuskrip Arab saat ini berkisar antara 3 sampai 5 juta naskah. Angka ini membuat kita kagum betapa di tengah keterbatasan sarana pada masa itu yang hanya menggunakan penulisan tangan para ulama ini begitu produktif menulis karya. Imam as-Suyuthi (w. 912 H/1506 M) misalnya yang hanya hidup sepanjang 62 tahun mampu melahirkan lebih dari 300 karya buku. Imam ath-Thabari (w. 310 H/922 M), sang guru besar para mufassir, selama hidupnya mampu menulis sebanyak 358.000 lembar atau 14 lembar/hari dihitung sejak usianya 15 tahun (perkiraan masa usia akil-balig). Belum lagi Imam an- Nawawi (w. 676 H/1277 M), Imam Ibn Taimiyah (w. 728 H/1327 M), Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H/1209 M), dan yang lainnya.
Fakta diatas telah cukup menggambarkan betapa besar kecintaan para salaf terdahulu terhadap ilmu. Meskipun dengan segala keterbatasannya mereka mampu menanamkan semangat yang kuat untuk terus memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada demi membangkitkan kejayaan islam. Jika melihat kembali pada kondisi saat ini dimana umat islam justru disuguhi berbagai kemudahan akses dan fasilitas yang terus berkembang pesat menembus ruang dan waktu. Akan tetapi justru tidak sejalan dengan fakta yang menggambarkan tingkat literasi yang justru kian merosot seiring kemajuan teknologi tersebut.
Penelitian dari Perpustakaan Nasional RI menyebutkan jika rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per pekan. Untuk setiap buku, kita menghabiskan waktu rata-rata 30-59 menit. Jumlah buku yang ditamatkan hanya 5- 9 buku per tahun. Minimnya tingkat literasi membuat umat islam saat ini mudah terpengaruh oleh opini-opini miring yang tidak jelas kebenarannya. Digitalisasi membuat kita kerap berpuas diri mendapatkan informasi bermuatan sensasi. Media sosial sebagai jendela informasi mutakhir saat ini kita telan mentah-mentah. Budaya Tabayun yang sebenarnya diajarkan Al-Qu'ran bahkan turut kita tinggalkan. Berbagai kondisi ini akhirnya mengantarkan umat muslim pada merosotnya nilai-nilai tauhid, dan akhlak mulia yang menjadi ciri utama islam yang sesungguhnya.
Padahal, jika berkaca pada sejarah kejayaan masa lalu, kaum Muslimin amat lekat dengan peradaban membaca. Ulama salaf memanfaatkan waktunya dengan membaca dan menulis, juga amalan ibadah lainnya. Seorang Imam al-Badr bin Jama’ah bertanya tentang cara tidurnya Imam Nawawi. Imam Nawawi lalu menjawab, “Apabila rasa kantuk datang, saya jatuhkan kepala sebentar di meja tempat kitab yang sedang saya pelajari, kemudian saya bangun lagi.”
Al-Fatih bin Khaqan juga menjadi salah satu tokoh yang sangat menghargai waktu. Ia selalu menyimpan kitabnya di dalam tas setiap mengikuti majelis ilmiah yang diadakan oleh khalifah al-Mutawakkil. Ketika ia hendak kencing atau shalat, ia harus meninggalkan majelis tersebut. Dalam perjalanan menuju kamar kecil atau tempat shalat, ia menyempatkan diri untuk membaca buku yang ada di dalam tasnya itu. Ketika kembali ke majelis ilmiah, ia juga melakukan hal yang sama. Sosok Ibnu Jauzi juga menjadi sosok yang menginsipirasi dengan semangat literasi yang dimiliki. Beliau pernah berkata “Jari-jari tanganku ini telah menghasilkan dua ribu jilid kitab. Selama hidupku ada seratus ribu orang yang menyatakan diri tobat di hadapanku dan dua puluh ribu Yahudi dan Nasrani yang menyatakan diri masuk Islam di hadapanku.”
Berbagai figur tersebut telah menggambarkan bahwa tidak ada alasan untuk tidak mampu mengembalikan budaya literasi, terutama generasi saat ini yang terus berperang dengan arus globalisasi yang mengantarkan perang pemikiran. Satu- satunya senjata untuk bisa mengahalau segala tantangan zaman saat ini adalah ilmu yang terus kita tanamkan dengan kuat. Tentunya ilmu tersebut tidaklah di peroleh dengan raga yang berleha-leha. Namun butuh spirit yang kuat untuk terus meningkatkan kualitas diri.
Ilmu yang sempurna adalah ilmu yang diamalkan. Seorang penuntut ilmu mampu terlihat kualitasnya melalui perkataan bahkan tulisan-tulisannya. Jika umat islam ingin meraih kembali kebangkitan islam maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah dengan membaca. Menyelami sejarah masa lalu lewat goresan tinta emas peradaban generasi yang gemilang. Serta menuliskan hal-hal yang bermanfaat sebagai upaya untuk terus menyuarakan kebajikan ditengah maraknya kebijakan yang menyimpang. Jika kaum kuffar sibuk melabeli diri dengan dasar
Open minded dan logika berpikir kritis demi menyuarakan kemungkaran agar tetap terbungkus rapi sebagai sebuah kebenaran. Maka saatnya kita juga lantang menyuarakan kebenaran ilmu itu melalui tulisan-tulisan yang dikemas dengan khazanah ilmu yang luas melalui kitab-kitab yang kita tamatkan.
Muslimah Millenial, Generasi akhir zaman sekaligus dengan gelar mahasiswa. Kita memegang peranan penting untuk membangkitkan kembali peradaban gemilang, menjadi pilar pencetak generasi madani. Dengan segala keterbatasan sebagai muslimah, juga kemajuan teknologi yang ada saat ini. Sudah saatnya untuk berbenah dengan memadukan kekuatan dzikir dan fikir untuk menjejakkan nama dalam deretan sejarah dengan langkah sederhana yang kita mampu. Bacalah walau hanya satu kalimat, tulislah walau hanya satu kata. Jika tak ada lagi kontribusi yang mampu untuk kita hadiahkan untuk agama ini maka setidaknya dengan komitmen dan kesadaran untuk mengembalikan nilai-nilai islam. Berbekalkan ilmu dan dimulai dengan langkah kecil, “Cukup satu buku untuk jatuh cinta”. Sebuah motivasi untuk menemukan jalan untuk menumbuhkan kecintaan pada buku. Sebuah pepatah yang berkata tak kenal maka tak sayang, maka temukanlah sebuah buku untuk dikenali dan menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu. Cintailah ilmu sebab ilmu adalah bekal yang akan menjaga dan memuliakan pemiliknya.

Maa Syaa Allah, Barakallahu Fiihaa
BalasHapusbismillah mengikuti jejak kakak nyaa :)
BalasHapus