Meneladani Spirit Literasi Imam Ahmad bin Hanbal Sebagai Ikhtiar Gen-Z dalam Membangun Peradaban Islam
KARYA INI DISUSUN UNTUK MENGIKUTI LOMBA PENULISAN ESAI MUSLIMAH'S EXPO 2022
Judul Esai:
Meneladani Spirit Literasi Imam Ahmad bin Hanbal Sebagai Ikhtiar Gen-Z dalam Membangun Peradaban Islam
Oleh: Dian Rahmana Putri (Ma’had Tadrib ad-Da’iyah al Muslimah Makassar)
Pendahuluan
Literasi Islam bermula dari al Quran pada surah al-Alaq. Wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah ayat tentang ilmu pengetahuan yaitu 'Iqro' yang berarti perintah untuk membaca.
Budaya membaca dan menulis telah berkembang sangat lama bahkan sejak masa Rasulullah. Dikisahkan setelah perang badar (perang antara pasukan muslimin melawan pasukan musyrikin Quraisy), pasukan kaum musyrikin Quraisy mengalami kekalahan sehingga banyak dari mereka menjadi tawanan kaum muslimin. Rasulullah memberikan persyaratan kepada para tawanan bahwa jika mereka ingin dibebaskan maka para tawanan harus mengajarkan membaca dan tulis-menulis kepada anak-anak kaum muslimin. Keputusan cerdas Rasulullah ini tentu sangat berdampak besar bagi masa depan kaum muslimin.
Perkembangan literasi saat ini tidaklah terlepas dari pengaruh literasi orang-orang terdahulu, termasuk ulama dan ilmuwan muslim. Para ulama salaf sangat besar perhatiannya terhadap kegiatan membaca dan menulis. Mulai dari kitab-kitab ilmu syar’i seperti aqidah, fiqih, ushul fiqih, dan hadits. Begitupun juga dengan kitab-kitab sains dan bahasa. Buktinya hari ini, kita bisa menikmati dan mengambil banyak faedah dari karya-karya mereka. Diantara karya literasi ulama hingga hari ini terus dipelajari seperti karya imam Syafi'i, imam Hanafi, imam Hanbali, imam Maliki dan masih banyak lagi. Karena itu menulis merupakan warisan para ulama salaf yang mestinya diwarisi oleh para aktivis dakwah untuk membangun peradaban Islam.
Mengapa mereka sangat perhatian dengan kegiatan membaca dan menulis? Karena keduanya adalah wasilah untuk mendapatkan ilmu. Sedangkan mereka adalah yang paling mengetahui keutamaan ilmu, khususnya ilmu syar’i.
Membaca bagi sebagian orang adalah aktivitas yang menjemukan, tidak menyenangkan bahkan cenderung ‘menyiksa’. Kita melihat bagaimana sulitnya seorang pelajar untuk duduk tenang dalam 1 jam untuk sekadar membaca buku pelajarannya. Atau seorang mahasiswa dalam menelaah buku-buku diktat mata kuliahnya. Padahal jika kita menengok kebiasaan ulama-ulama terdahulu, mereka sangat getol sekali dalam menuntut ilmu. Membaca bagi mereka bagaikan makanan lezat, bahkan lebih nikmat dari itu.
Para ulama terdahulu dalam usaha mencari dan mempelajari ilmu, mereka merelakan sebagian harta, waktu bahkan jiwanya untuk mendalami ilmu. Bagaimana tidak, ada diantara mereka yang ‘rela’ membujang (bukan karena tidak mau menikah) dikarenakan sibuknya mencari ilmu, atau masuk ke jurang gara-gara saking semangatnya membaca buku hingga saat berjalan pun tak lupa membaca buku.
Sungguh kebiasaan mereka perlu disuarakan kembali di zaman ini. Umat sangat membutuhkan ilmu atas persoalan yang mereka hadapi sekarang, masyarakat dihadapkan dengan fitur media sosial yang lebih menarik, dan berdampak pada budaya instan dan menurunnya minat baca dan menulis masyarakat di dalamnya. Kita menyaksikan zaman di mana kaum muslimin betul-betul telah tercabut dari akarnya hingga merasa minder dengan agamanya sendiri bahkan lebih percaya kepada yang bukan kaumnya dibanding kepada kaumnya sendiri dan kepada Allah. Kita juga melihat bahwa hari ini kaum muslimin cenderung putus asa dan menyesuaikan diri dengan keburukan daripada mengubah keburukan itu sendiri.
Oleh karena itu, para pemuda, pencari ilmu dan semua kaum muslimin sudah saatnya kembali menggelorakan semangat literasi. Sebab ia adalah warisan para ulama terdahulu. Dan untuk melestarikan warisan tersebut tidak dengan sekadar menyusunnya di dalam lemari indah, menertibkan, menghiasi dan mengeditnya. Tidak cukup seperti itu. Akan tetapi cara paling baik dan paling tepat untuk melestarikannya adalah dengan membangkitkan semangat literasi. Menjadikannya sebagai agenda harian.
Menurut (KBBI) Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi adalah kemampuan dan keterampilan individu dalam berbahasa yang meliputi menulis, membaca, menghitung, berbicara, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam buku panduan GLN Kemendikbud, dicantumkan bahwa dimensi literasi mencakup enam hal : literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Seiring dengan perkembangan zaman, maka cakupan literasi pun akan semakin luas. Termasuk literasi teknologi yang mengharuskan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dalam mengetahui dan memahami hal-hal yang berhubungan dengan teknologi, mengerti cara menggunakan internet, serta memahami etika dalam menggunakan teknologi.
Merosotnya budaya literasi umat islam khususnya di Indonesia terbuktikan berdasarkan fakta. Berita terkait rendahnya minat baca penduduk indonesia tidak asing di telinga, mulai dari UNESCO yang mengungkapkan bahwa minat baca penduduk indonesia sangat memprihatinkan hanya 0,001%, bisa dikatakan dari seribu orang hanya satu orang yang rajin membaca. Data lainnya, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara dengan tingkat literasi rendah. Jika mengacu pada hasil survei yang dilakukan PISA pada tahun 2019, minat baca indonesia menempati urutan ke 61 dari 71 negara, alias berada 10 negara terbawah.
Eksistensi Ulama & Literasi Imam Ahmad bin Hanbal
"Islam diwarnai oleh dua warna merah darah para syuhada dan hitam tinta para ulama. Namun, ketika kesempatan meletakkan peluru dan batu tak kunjung kami hadapi, maka kami bersemangat untuk mengkaji ilmu dan buku. Dengan tinta, kami akan menyongsong sebuah peradaban baru." (Asy Syahid, Syekh Abdullah Azzam).
Dari sejarah dan kiprah para Ulama, kita dapat meneladani, bahwa perjalanan peradaban sebuah bangsa, melalui pendidikan, dan literasi merupakan sebuah pekerjaan jangka panjang dan memiliki manfaat besar agar kegiatan “Tafakkaruu “ yang diserukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala , bagi manusia adalah bukan sekadar slogan tanpa perbuatan nyata. Pendek kata berliterasi adalah bekerja untuk keabadian.
Dari situ dapat kita cermati eksistensi Ulama di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan kemuliaannya yang di akui oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa Ulama sebagai mata rantai keilmuan yang berkaitan dengan al quran dan hadits. Dari zaman ke zaman eksistensi mereka adalah bagian integral dari Epistimologi Islam. Dengan demikian sebuah peradaban tidaklah terwujud tanpa Ulama dan sama saja dengan memutus mata rantai keilmuan itu sendiri.
Diakui atau tidak, Masterpiece peradaban Islam diantaranya adalah karya Ulama. Gencarnya kegiatan Ulama dalam mentransformasi Ilmunya dalam tulisan dan buku memiliki dampak yang sangat luar biasa. Tidak dapat kita bayangkan jika para Ulama hanya menyampaikan ilmunya secara lisan saja, maka generasi islam abad ini dipastikan asing dengan al quran dan Sunnah Nabi . Maka terputuslah mata rantai keilmuan yang sanadnya tersambung pada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Sungguh tak kurang-kurang sosok panutan bagi umat Muslim dari masa ke masa. Banyak ulama lahir dan memberikan keteladanan bagi umat-umat selanjutnya. Salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau adalah seorang penuntut ilmu sejati, yang hidupnya diwakafkan untuk mencari dan mencintai ilmu.
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang mujtahid besar, penghafal Al-Qur’an dan juga pembelajar bahasa. Ketika usianya masih 14 tahun, beliau telah menulis diwan (prosa). Imam bin Hanbal juga dikenal ahli hadits dan ahli fiqih, pendiri mazhab Hanbali (mazhab keempat dalam khasanah pemikiran fikih Islam). Nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad al- Syaibaniy al-Bagdady. Dia lebih dikenal dengan sebutan Ahmad ibn Hanbal. Penisbatan namanya kepada kakeknya bukan kepada ayahnya mungkin karena kakeknya lebih terkenal daripada ayahnya. Baik dari jalur ayahnya, maupun dari jalur ibunya, Imam bin Hanbal berasal dari keturunan Arab Bani Syaibany dari Kabilah Rabi'ah Adnaniyah. (al- Qaththanm 1989: 239).
Imam bin Hanbal lahir dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya meninggal dunia ketika Imam bin Hanbal masih kecil, sehingga tanggung jawab pemelihraannya berada di pundak ibunya. Sejak kecil ia telah menghafal Al-Qur’an dan mengkaji Islam, dikenalkan dan dididik bahasa Arab, hadits, atsar sahabat dan tabi’in, sirah nabi, sirah sahabat.
Kesederhanaan hidup tidaklah menyurutkan tekad Imam bin Hanbal untuk menuntut ilmu dan menempa diri. Sejak kecil Imam bin Hanbal menunjukkan minat yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan, hal ini dapat terlihat dari kebiasaan beliau yakni selalu membawa tinta dan kertas kemana saja beliau pergi, untuk menulis sesuatu yang dirasa bermanfaat baginya. Imam bin Hanbal mendapatkan pendidikan pertamanya di kota Baghdad. Kota Baghdad ketika itu adalah pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, di samping sebagai pusat pemerintahan daulah Abbasiyah, di kota tersebut terdapat pakar-pakar di bidang syari'ah, qiraat, tasawuf, bahasa, filsafat, dan sebagainya. Atas kemauan sendiri ditambah dengan dorongan dari keluarganya, Imam bin Hanbal memilih menekuni bidang ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Di samping itu, dia juga menghafal Al quran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa.
Imam bin Hanbal selalu bekerja keras untuk mencari ilmu pengetahuan. Tak jarang karena hal itu, sang ibu merasa terharu melihat perjuangan sang anak. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal memiliki kebiasaan untuk keluar rumah sebelum fajar terbit untuk menuntut ilmu. Dan sang ibu pernah memintanya agar menunggu sejenak sampai orang-orang terbangun dari tidurnya barulah pergi.
Ketika usia Imam bin Hanbal menginjak usia 15 tahun, beliau mulai mempelajari hadits Nabi Muhammad ﷺ. Beliau melanglang buana untuk berguru pada ulama-ulama yang luar biasa pada saat itu. Untuk mendapatkan guru-guru yang hebat, Imam Ahmad bin Hanbal melakukan perjalanan keliling dari satu negeri ke negeri yang lain. Beliau pernah berkunjung ke Kuffah (133 H) dan ke Basrah (186 H) di Irak; Mekah, Hijaz, dan Madinah di Arab; dan Yaman serta Suriah.
Beliau setidaknya pernah lima kali melakukan ziarah (kunjungan) ke Mekah, tiga di antaranya dengan berjalan kaki. Kondisi ekonomi yang kurang beruntung tidak lantas menyurutkan semangat beliau untuk mengembara ke berbagai negara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan di bawah naungan para ulama.
Imam Ahmad bin Hanbal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, Diantara guru-guru beliau adalah Sufyan bin Uyainah, Yusuf al- Hasan Bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibnu Humam, Ibnu Abbas, Hammam Bin Kholid, Ismail Bin Aliyyah, Muzaffar Bin Mudrik, Walid Bin Muslim, Muktamar Bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qodhi, Yahya Bin Zaidah, Ibrahim Bin Said, Muhammad Bin Idris As-Syafii, Abdurrozaq Bin Humam dan Musa Bin Thoriq, dari guru-gurunya inilah beliau belajar Ilmu Fiqh, Hadits, Tafsir, Kalam, Ushul, dan bahasa Arab.
Pernah suatu ketika, Imam bin Hanbal mengunjungi majelis Imam Syafii setelah beliau menyalin banyak kitab sehingga ada bercak tinta hitam pada pakaian Imam bin Hanbal. Imam Syafii melihat Imam bin Hanbal duduk. Lalu Imam Syafii memperhatikan bahwa Imam bin Hanbal merasa malu karena ada bercak tinta yang menempel di pakaiannya dan mencoba menyembunyikannya.
Melihat hal ini, Imam Syafii pun berkata, “Anak muda, mengapa kamu menyembunyikannya? Memiliki tinta pada pakaian seseorang adalah tanda pribadi yang luhur (sebagai pecinta ilmu): bagi orang biasa (tinta) itu hitam, tapi bagi orang yang berilmu tinta itu putih (dengan cahaya pengetahuan).” Mendengar petuah ini, tekad Imam bin Hanbal pun semakin membara dalam mengumpulkan, menyalin, dan menghafalkan hadits. Beliau pun kemudian menjadi seorang imam yang mumpuni.
Di kemudian hari, Imam bin Hanbal pernah melihat para santri dengan pot tinta dan bercak tinta hitam pada pakaian mereka bersemangat untuk duduk dan belajar dari sang imam. Imam bin Hanbal pun tersenyum sambil mengenang ucapan Imam Syafii dulu kepadanya, dan berkata, “Tinta-tinta itu adalah lentera Islam.”
Di dalam menuntut dan mengajarkan ilmu, Imam Ahmad bin Hanbal lebih percaya kepada dan mengandalkan catatan dibandingkan dengan hafalan, meskipun semua orang mengakui kekuatan daya hafalannya. Para muridnya dilarang menulis hadits kecuali setelah dipastikan berasal dari catatannya. (Dahlan, 1996: 55)
Di samping menghasilkan karya di bidang fiqih dan hadits, Imam bin Hanbal juga menyampaikan pemikiran-pemikiran di bidang lain seperti di bidang aqidah dan politik. Pemikiran dan pendiriannya tentang Al quran sebagai kalam Allah yang qadim menyebabkan dia disiksa dan dipenjara pada masa pemberlakukan mihnah pada masa khalifah al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq. Ketiga khalifah itu menyetujui pendapat Mu'tazilah tetang kemakhlukan Al quran dan memaksakan pendapatnya kepada umat Islam, terutama para qadhi dan ulama (Ismail, 1985: 342: 343).
Kesungguhan serta keteguhan Imam Ahmad bin Hanbal akan ilmu, maupun semangat dan kegigihannya terhadap cobaan, cukup membuat para ulama merasa kagum pada masanya. Sehingga, para ulama tersebut memuji Imam Ahmad bin Hanbal. Salah satu ulama itu adalah Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hanbal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.
Setelah mencurahkan waktunya selama 40 tahun untuk menimba ilmu agama, Imam Ahmad bin Hanbal pun menjadi ulama yang berpengaruh. Ia menduduki jabatan penting dalam masyarakat Islam saat itu, yakni sebagai Mufti. Kehebatan Imam Ahmad bin Hanbal dalam ilmu hadits sudah tak perlu diragukan. Kitab Al-Musnad Al-Kabir (ensiklopedia hadits) yang sangat monumental ini memuat tak kurang dari 27 ribu hadits. Ini merupakan karya masterpiece Imam Ahmad bin Hanbal dan penelitian hadits yang dinilai terbaik.
Dalam bidang fiqih, Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai pendiri Mazhab Hambali. Ia sungguh beruntung karena bisa belajar dari ahli fiqih termasyhur yang juga dikenal sebagai pendiri tiga mazhab lainnya, seperti Abu Hanifah (Imam Hanafi), Imam Syafi'i, dan Imam Maliki.
Imam Ahmad bin Hanbal pun ahli dalam urusan bahasa dan sastra. Ia sangat berjasa dalam pengembangan bahasa Arab. Imam Ahmad bin Hanbal tercatat sebagai ulama yang menekankan pentingnya penggunaan tata bahasa Arab secara tepat dan pelafalan kata-kata secara benar. Selain ahli dalam tata bahasa, Imam Ahmad bin Hanbal juga dikenal pandai merangkai kata menjadi syair dan puisi.
Pengetahuannya tentang ilmu Al quran juga sungguh luar biasa. Sebagai Imam dalam ilmu Al quran, Imam Ahmad bin Hanbal sangat menguasai Tafsir Al quran. Ia pun ahli dalam ilmu Al-Nasikh wal Mansukh. Ia pun megembangkan gaya qiraat yang lain dari yang lain. Ia tak suka dengan gaya qiraat yang terlalu berlebihan memanjang-manjangkan bacaan hamzah. Ia juga dikenal sebagai Imam Ahlu Sunnah.
Selain kitab Al Musnad yang merupakan ujung tombak kemasyhuran Imam Ahmad bin Hanbal, banyak karya-karya beliau yang lain yang menyangkut berbagai bidang disiplin ilmu, baik berupa fiqih, ushul fiqih, tafsir ataupun tarikh. Misalnya Tafsir Al Qur’an, An Nasikh wa al Manshukh, Al Muqaddam wa al Muakhkhar fi al Qur’an, Jawabat al Qur’an, At Taarikh, Al Manasik al Kabir, Al Manasik ash Shaghir, Tha`atu ar Rasul, al ‘Ilal, Al Wara’ dan Ash Shalah.
Imam Ahman bin Hanbal memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap umat Islam, diantaranya adalah; Beliau mengumpulkan dan menyusun hadits secara rapi dan sempurna mengikutkan nama-nama sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasallam yang meriwayatkannya satu persatu dalam kitab Musnadnya. Sifat ketelitian dan kesungguhan Imam Ahmad bin Hanbal menyelidiki hadits-hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasallam dapat membersihkan hadits-hadits dari pemalsuan. Usaha ini juga menjadikan hadits dan sunah Rasulullah terpelihara dan terhimpun dengan sempurna.
Kesimpulan
Perkembangan literasi saat ini tidaklah terlepas dari pengaruh literasi orang-orang terdahulu, termasuk ulama dan ilmuwan muslim. Diakui atau tidak, Masterpiece peradaban Islam diantaranya adalah karya Ulama. Gencarnya kegiatan Ulama dalam mentransformasi Ilmunya dalam tulisan dan buku memiliki dampak yang sangat luar biasa.
Zalah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal atau biasa disebut sebagai Imam Ahmad. Ia merupakan orang yang sangat mencintai ilmu dan mempunyai kegemaran yang tinggi untuk membaca, terutama dalam bidang Ilmu Hadits. Hingga ia tidak mau menyia-nyiakan waktunya untuk beristirahat. Bahkan beliau berkata, tamasya (rekreasi) bukanlah aktivitas para Nabi dan orang-orang shalih. Karena itu seorang murid hendaknya tidak melakukan safar kecuali untuk ilmu dan menyaksikan kehidupan para ulama agar ia bisa mencontoh perjalanan hidup mereka. Kondisi ekonomi yang kurang beruntung tidaklah menyurutkan tekad Imam bin Hanbal untuk mengembara ke berbagai negara mendapatkan ilmu pengetahuan di bawah naungan para ulama.
Sungguh spirit Imam Ahmad bin Hambal dalam mencari ilmu perlu disuarakan kembali di zaman ini. para pemuda, pencari ilmu dan semua kaum muslimin sudah saatnya kembali menggelorakan semangat literasi. Sebab ia adalah warisan para ulama terdahulu. Dan untuk melestarikan warisan tersebut tidak dengan sekadar menyusunnya di dalam lemari indah, menertibkan, menghiasi dan mengeditnya. Tidak cukup seperti itu. Akan tetapi cara paling baik dan paling tepat untuk melestarikannya adalah dengan membangkitkan semangat literasi. Menjadikannya sebagai agenda harian.
Daftar Pustaka
Abdullah Azzam. 2015. Tarbiyah Jihadiyah. Penerbit Jazeera, Solo.
Abu Zubair, “Biografi Imam Ahmad bin Hanbal”, dalam http://www.wordpress.com (9 Desember 20), hlm. 1.
Buku Panduan Gerakan Literasi Nasional (GLN) Kemendikbud, 6
Dahlan, Abdul Azis (ed.). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I-II. Cet. I Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Gila Baca ala Ulama, Potret Keteladanan Ulama dalam Menentut Ilmu (terjemahan), Ali bin Muhammad Al-Imran, 123
Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 82.
Ismail, Sya'ban Muhammad. 1995. al-Tasyri al-Islami: Mashadiruhu wa Athwaruhu. Kairo Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia [Online]. Tersedia di: https://kbbi.lektur.id/literasi. Diakses 9 Desember 2022.
Najmuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdurrahman bin Al-Qudamah al-Maqdisi, Mukhtasar Minhaj al-Qashidin, 1/21
Qaththan, Manna' Kholil. 1989. al-Tasyri wa al-Fiqh fi al-Islamy: Tarikhan wa Manhajan: Misra; Dar al-Maarif.

Komentar
Posting Komentar