Ahsanu Amala : Studi Biografi Al Imam Az Zuhri dalam Konsep Islamic Mindfulness sebagai Upaya Habituasi Al Qur’an di Era Society 5.0
Judul Esai:
Ahsanu Amala : Studi Biografi Al Imam Az Zuhri dalam Konsep Islamic Mindfulness sebagai Upaya Habituasi Al Qur’an di Era Society 5.0
Oleh: Chaeriyah Rafiqah (Universitas Hasanuddin)
Al-Qur'an telah dipercaya oleh umat Islam sebagai wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan dijadikan sebagai pedoman hidup bagi umat Islam di seluruh dunia. Kemuliaan Al Qur’an tidak hanya pada kebermanfaat yang dirasakan oleh manusia saja. Melainkan seluruh lini yang berkaitan dengan Al-Qur’an akan menjadi sama mulianya, sebagaimana ini adalah keutamaan dari Al Qur’an. Hal ini selaras dengan penuturan Ibnu Katsir rahimahullah berikut ini.
“Diturunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an) dengan bahasa yang paling mulia, diajarkan kepada Rasul yang paling mulia, disampaikan oleh malaikat yang paling mulia, diturunkan di tempat yang paling mulia di muka bumi, diturunkan pula di bulan yang paling mulia sepanjang tahun, yaitu bulan Ramadhan. Dengan demikian sempurnalah Kitab suci Al-Qur`an dari berbagai sisi” (Tafsir Ibnu Katsir)
Kebaikan dan kemuliaan idealnya dapat dirasakan hingga saat ini, dimana Islam menjadi agama no. 2 di Dunia, dan no.1 secara khusus di Indonesia. Sebagai kitab yang memiliki sejuta keutamaan, maka bagi setiap yang mengamalkannya tentu akan membangun suatu resonansi kebaikan untuk dirinya dan orang lain. Namun, didapati saat ini, umat islam di Indonesia secara khusus, dan di dunia secara umum sama sekali tidak mencapai titik kebaikan dan kemuliaan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Negara dengan tingkat ekonomi yang rendah, tingkat kemiskinan yang tinggi, juga kasus kekerasan yang banyak, didominasi oleh negara dengan Islam sebagai agama mayoritas.
Hal ini lantas menjadi suatu bentuk kemunduran umat islam, bahkan saat Al Qur’an masih berada ditengah-tengah masyarakat. Sementara sejarah telah mencatat bahwa Islam pernah memiliki Imperium besar selama 500 tahun lamanya. Menurut Ibnu Khaldun dalam konsep dinamika sosial-ekonomi islam, dunia Islam bangkit begitu cepat dan terus maju selama beberapa abad dan sesudah itu akan tiba pada fase merosot sedemikian rupa sehingga kehilangan alat vitalnya, yakni Al-Qur’an. Kemunduruan umat islam secara besar besaran yang dimaksud oleh Ibnu Khaldun ini dapat kita sadari dengan tanda berupa runtuhnya dinasti …. Sebagai dinasti Islam terakhir di Dunia.
Berbagai alasan juga faktor internal maupun eksternal, didapati saling tumpang tindih menjadi sebab kemunduran ummat islam saat ini. Prof. Fathul Wahid selaku Rektor Universitas Islam Indonesia menyampaikan ada 2 hal besar yang kemudian menjadikan umat ini kian terpuruk. Pertama adalah karena hilangnya keimanan dan ruh Al Qur’an dalam diri umat Islam. Kedua adalah karena terpaan modernisasi dan teknologi yang kian mengglobal. Hal ini akan menimbulkan efek kerusakan dalam jangka panjang bagi umat islam. Penulis pun menyadari bahwa dua hal ini merupakan bagian dari fitnah akhir zaman yang tak bisa hindari.
Kondisi yang kian hari makin carut marut ini tentu tidak boleh terus dibiarkan. Sejarah telah mencatat bahwa umat Islam pernah mulia dengan iman dan Al Qur’an sebagai kekuatannya, maka untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan tersebut kita perlu mengambil banyak pelajaran dari sejarah emas umat islam, untuk kemudian diaktualisasikan dalam bentuk perbaikan umat islam itu sendiri. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Ar-Rad ayat 11 yang menyampaikan bahwa Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, kecuali bila kaum itu yang bertekad dan bergerak melakukan perbaikan. Maka kemunduran umat islam saat ini menjadi tugas besar perbaikan bagi kita.
Menelaah dua faktor besar kemunduran Islam yang disebutkan sebelumnya, penulis mendapati pola kerja dari faktor ini. Baik menghilangkan keimanan dan pemahaman Al-Qur’an, maupun terpaan teknologi dan globalisasi, keduanya membutuhkan waktu yang panjang untuk menghasilkan kerusakan yang besar seperti saat ini. Maka kunci pola kerja faktor ini adalah kontinuitas atau berlangsung secara terus menerus dan berulang. Teknologi dan globalisasi sedikit demi sedikit menggeser fungsi Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat islam, yang kemudian akan semakin mematikan keimanan orang tersebut. Umat Islam dijauhkan dan dibuat melupakan organ vital yang kemudian memuliakannya di masa lampau.
Kondisi ini kemudian mendorong alternatif penyelesaian berupa kembali menghidupkan nilai Al-Qur’an sebagai pedoman manusia. Sebagaiaman teknologi mengikis nilai Al Qur’an dan keimanan secara terus menerus, maka upaya untuk menanamkan dan menghidupkan nilai Al Qur’an juga perlu dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Umat Islam yang sudah terbiasa dengan teknologi canggih hingga saat ini, perlu untuk kembali terbiasa dan membiasakan diri terhadap Al Qur’an. Kebiasaan ini lantas nantinya akan menjadi suatu kebutuhan hidup yang tidak bisa terpisahkan.
Sebagai referensi bagaimana kebiasaan dengan Al-Qur’an akan memberikan dampak kebaikan besar pada diri dan lingkungan, telah tercatat dalam kisah hidup salah seorang Ulama Salaf bernama Al Imam Az Zuhuri yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam literasi dan ilmu agama. Kisah hidup Imam Az Zuhuri menyampaikan kepada kita bahwa untuk menjaga kemuliaan Al Qur’an, maka kita perlu memuliakan setiap sebab sampainya Al Qur’an kepada diri kita, pun juga berupaya yang terbaik dalam pengamalannya. Konsep terbaik yang digunakan imam Az Zuhuri adalah nukilan QS. Al Mulk ayat 2 yang menyebutkan bahwa Allah tidak melihat jumlah amalan seseorang, namun Allah melihat kualitas yang paling baik (ahsanu amala) dari setiap hamba-Nya.
Konsep baik atau ahsanu amala ini amat tergambar jelas dalam sikap imam Az Zuhuri ketika berinteraksi dengan segala lini Al-Qur’an dan Ilmu Agama. Beliau tercatat menghafalkan 30 Juz Al Qur’an hanya dalam kurun waktu 80 hari saja. Selain itu pola interaksi ilmu yang dilalui oleh Imam Az Zuhuri sangat mencerminkan bagaimana beliau menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu habit atau kebiasaan. Imam Az Zuhri yang lahir pada tahun 50 hijriyah adalah seorang tabi’in yang pakar dalam bidang hafalan dan keluasan ilmunya. Imam Az Zuhri merupakan sosok yang dermawan dengan banyak harta, faqih dalam ilmu, juga memiliki jabatan penting dalam pemerintahan Bani Umayyah.
Imam Az Zuhri menggunakan beberapa metode dalam upayanya menjaga hafalan Qur’an serta pengilmuan dan pengamalan ilmu Al-Qur’an tersebut. Setidaknya terdata ada 6 metode yang kemudian menjadi sebab keunggulannya dalam bidang ilmu pengetahuan. Pertama, kekuatan hafalannya. Kedua, beliau senantiasa menulis semua yang didengarnya. Ketiga, senantiasa mengulang dan mempelajarinya. Keempat, beliau berteman, mendekat, dan mengabdi kepada orang yang berilmu. Kelima memuliakan orang yang berilmu. Keenam, beliau senatiasa melakukan hal yang dapat membantu hafalannya dan menghindari kelupaan. Jika ditelaah lebih jauh, Imam Az Zuhri senantiasa menggunakan kecerdasan akalnya berupa kekuatan analisa dan hafalan melalui pendengara, untuk kemudian diorientasikan pada penambahan iman dan amal kebaikan dengan Al-Qur’an sebagai pionirnya.
Keenam metode yang digunakan Imam Az Zuhri ini serupa dengan konsep Islamic Mindfulness yang digunakan sebagai terapi mental illness diabad 20 saat ini. Dr. Meidiana Dwidyanti menyebutkan Mindfulness merupakan suatu latihan yang dilakukan sesorang dengan cara fokus untuk menyadari masalah yang sedang dihadapi, menerimanya dengan lapang dada tanpa melakukan penilaian yang negatif dan juga tidak bereaksi berlebihan. Islamic Mindfulness ini berproses dengan menjadikan Allah sebagai sentra tindakan dan perilaku manusia. Allah menjadi satu kesatuan atas diri seseorang. Hal ini diterapkan melalui 3 komponen mindfulness yakni kognitif, interpersonal, dan dialektis.
Berikutnya, penulis menganalisa metode yang digunakan oleh Imam Az Zuhri dengan dikaitkan pada komponen Islamic Mindfulness yang kemudian apabila dilakukan secara terus menerus dalam jangka panjang, akan menciptakan kebiasaan positif baru. Habituasi Al-Qur’an akan menjadi lingkungan baru yang juga akan senantiasa menguatkan keimanan manusia sekaligus selektif menggunakan dan berinteraksi dengan teknologi
Analisa Metode Imam Az Zuhri dan Komponen Islamic Mind
1 Kekuatan Hafalan (Kognitif)
2 Menulis Seluruh yang didengar (Dialektis)
3 Mengulang Pelajaran (Kognitif)
4 Berteman dengan yang berilmu (Interpersonal)
5 Memuliakan yang berilmu (Interpersonal)
6. Melakukan hal yang menguatkan hafalan (Dialektis)
Berdasarkan tabel diatas, dapat kita pahami bahwa fokus pikiran berpengaruh besar pada keimanan dan nilai Al Qur’an sebagai modal untuk kembali pada kejayaan umat Islam. Baik hafalan, tulisan, maupun interaksi sosial dilakukan untuk kembali menguatkan nilai Al-Qur’an yang integral dengan keimanan seseorang. Bila konsep ini dilakukan secera terus menerus, maka akan tercipta habituasi Al-Qur’an yang diharapkan tidak hanya pada kuantitas saja, namun nilai Al-Qur’an itu sendiri akan mejaga kualitas Al-Qur’an pada diri seseorang. Sebagaiamana kualitas yang baik merupakan ciri Ahsanu Amala yang Allah ridhoi.Umat Islam di era society 5.0 ini yang erat dengan teknologi perlu pula mempererat hubungan dengan Al-Qur’an, agar Islam bisa kembali pada kejayaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al Karim
Bernard, B. (2004). Resiliency: What We Have Learned. San Francisco, CA: WestEd Regional Educational Laboratory
Farid, Akhamd. (2006). Biografi 60 Ulama Salaf. Al-Kautsar
Khalid, Amru. (2018). Hati Sebening Mata Air. Aqwam Press
Qayyim, Ibnu. (2020). Raudhatul Muhibbin : Cerdas mengelola perasaan cinta dan rindu. Aqwam Press
Rifa’I, Ahmad. (2015). Man Shabara Zhafira : Success in Life with Persistence. PT. Elex media komputerindo
Sakran, Ibrahim. (2017). Reconnect With Qur’an. Aqwam Press
Wolin, S. J., & Wolin, S. (1993). The Resilient Self How Survivors of Troubled Families Arise above Adversity. New York Villard Books

Komentar
Posting Komentar