Rencana Allah yang Indah
Kelasku yang terletak di lantai 2 gedung sekolah begitu riuh. Tepat di barisan belakang aku duduk. Pikiranku berkelana, ke mana kaki akan melangkah setelah kelulusan? Mengingat saat itu tahun terakhir aku di bangku SMA. Teman-teman sekelasku tak perlu diragukan lagi, deretan nama-nama kampus terkenal di Kota Makassar sudah sering disebut. Bahkan beberapa di antara mereka sudah mengikuti les tambahan di luar jam sekolah sebagai persiapan masuk kampus. Jika ada pertanyaan-pertanyaan seputar kuliah, aku kadang memilih diam. Tak jarang teman-teman kelasku mengatakan, “Ah, kalau kamu sudah jelas masuk STIBA”. Kalimat itu sudah sering aku dengarkan dari teman-teman sekelasku. Mungkin karena aku salah satu dari 3 siswi yang bercadar di kelasku, entahlah.
Tapi setiap kali itu pula hati dan lisanku menolak keras. Aku benar-benar tidak ingin melanjutkan studi di kampus STIBA. Tidak mau dan tidak ingin. Dalam pikiranku, “Ah, kampus biasa”. Aku sangat ingin seperti teman-teman yang lain, belajar di kampus umum. Entah mengapa, tapi beda saja rasanya. Apalagi jika nama kampusnya disebut, orang akan terkagum tentunya. Dan diriku yang masih sangat labil saat itu, menginginkan untuk menjadi dokter. Jurusan seribu umat katanya. Lebih spesifiknya aku ingin menjadi dokter kandungan, harapan dari salah satu sanak keluarga. Dengan asalku dari pelosok desa terpencil, tentu orang-orang akan terkagum dengan hal tersebut. Maka keinginanku menjadi dokter semakin kuat. Terlebih saat Ujian Nasional semakin mendekat.
Namun manusia memang hanya pandai berencana. Allah telah mengatur segalanya. Aku akhirnya ditakdirkan untuk mengabdi setahun di pondok aku tinggal selama belajar dari bangku SMP. Atau aku menyebutnya asrama. Namun tetap saja tekadku tidak berubah, menjadi dokter kandungan dan tidak akan masuk ke kampus STIBA. Orang tuaku memberi kebebasan, sebab tentu aku yang akan menjalani. Walau sebenarnya aku tahu mereka sangat menginginkan aku masuk di kampus STIBA. Sebab beberapa keluargaku juga belajar di sana.
Seiring berjalannya waktu selama masa pengabdian di pondok, keinginanku untuk masuk di kampus umum semakin memudar. Keinginan menjadi dokter juga seakan hilang. Tapi tetap saja, aku masih enggan mendaftarkan diri di kampus STIBA. Sampai waktu pengabdianku akan berakhir dan pendaftaran kampus-kampus telah di buka, tak terkecuali STIBA, aku semakin bingung. Ah, di mana aku akan menuju, apakah mungkin di luar Sulawesi? Aku bahkan sudah mencari tahu beberapa ma’had di pulau Jawa. Bahkan pernah hampir mendaftarkan diri di salah satu ma’had terkenal di kota Sukabumi.
Setelah tafakkur yang panjang, aku akhirnya mengikuti keputusan orang tuaku. “Di STIBA saja nak. Kenapa mau pergi ke tempat yang jauh kalau di Makassar juga ada kampus yang sama?” Di tambah dengan adik perempuanku (umurnya terpaut setahun dua bulan denganku) saat itu juga akan masuk kuliah, maka aku memilih untuk menuruti keinginan orang tua.
“Kita kuliah di STIBA saja. Cepat mendaftar sebelum waktunya di tutup”, begitu kata adikku waktu itu. Dengan setengah hati aku akhirnya mendaftar. Dan tentu aku lebih dahulu mengurus pendaftaran adikku sampai selesai, dan menunda pendaftaranku karena hatiku masih menolak untuk masuk di kampus tersebut. Hingga suatu hari, saat aku masih ogah-ogahan dengan pendaftaranku, salah satu postingan panitia PMB menyadarkanku, mengutip salah satu ayat dari surah al-Baqarah, ditambah gambar kampus STIBA sebagai latar belakangnya ;
وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُون
Artinya; “Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Aku tersentak. Sepertinya Allah telah menjawab doa dan keraguanku selama ini. Tanpa berpikir panjang, segera kulengkapi berkas pendaftaran, yang sudah memasuki hari terakhir saat itu. Hatiku semakin mantap dan yakin. STIBA yang terbaik. Saat pengumuman kelulusan tiba, aku masih diliputi ketakutan. Apakah aku akan diterima? Sementara hatiku pernah menolak sebelumnya.
Alhamdulillah, kudapati namaku di deretan nama-nama terakhir. Dan inilah aku hari ini, di sini, di kampus ini. Di tempat yang sudah mengajarkan banyak hal berharga. Tempat yang selalu dirindukan saat pulang ke rumah. Tempat yang dipenuhi ilmu dan pelajaran hidup. Tempat yang dipenuhi orang-orang baik dan soleh. Tempat yang dipenuhi cahaya para penghafal Al-Quran. Tempat para ahli ilmu.
Maka untuk saudari-saudariku yang saat ini masih berada di barisan pejuang kampus ini, istiqomahlah. Sebab hal yang paling sulit saat kita menetapi kebaikan adalah istiqomah.
معهدي ، سعادتي
Mahasiswi STIBA Makassar angkatan 2018

ماشاء الله ،بارك الله فيها
BalasHapusMaasyaa Allah,semoga kami bisa menyusul kakak kuliah di Stiba juga
BalasHapus