Aku dan Gadgetku
Pandemi sudah mencapai usianya ke-1 tahun. Tepat di bulan Maret tahun 2020, pemerintah mulai bertindak lebih. Masker menjadi mulai diperebutkan, handsanitizer menjadi bahan perkelahian, desinfektan tersebar dimana-mana, hingga vaksin ramai diperbincangkan, dan jarak temu yang dibatasi.
Proses pembelajaran mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga pada bangku perkuliahan sempat terliburkan kurang lebih selama dua pekan. Namun pandemi tidak menjadi alasan untuk terus-terusan menjadi pengangguran. Sekolah-sekolah bahkan ada yang diam-diam menyekolahkan siswa-siswinya. Tapi lagi-lagi pemerintah memberikan maklumat agar pembelajaran kita laksanakan secara daring.
Bagi mereka yang terbiasa menggunakan smartphone, mungkin tidak merasakan keresahan bahkan ketidaktahuan dalam penggunaannya. Tapi kita sebagai santriwan dan santriwati yang jarang menyentuh alat ini, tentu sangat asing karena menggunakannya bahkan pada hari libur panjang saja ketika berada di kampung masing-masing.
Di awal daring, kita mungkin lebih sering menghabiskan waktu bersama gadget kita ini. Hal itu dilakukan agar kita dapat beradaptasi dan mengetahui langkah-langkah dalam menggunakan aplikasi yang menghiasi handphone kita. Namun setelah terbiasa dengannya, ada sesuatu yang hinggap di hati ketika tidak menyentuhnya dalam satu hari. Entah itu rasa gelisah, marah, bahkan resah.
Hari terus berlalu. Dunia mulai menampakkan masalah-masalahnya. Angka kemiskinan terus melonjak seiring meningkatnya angka kematian di negara kita. Dunia nyata kian menua sedangkan kita terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya. Tidak heran, KOMINFO menyebutkan bahwa Indonesia menduduki angka 95% yang menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial media. Bahkan kesemuanya ternyata menjadikan kita lalai akan hal-hal kecil disekitar kita.
Ada orang tua yang ketika memanggil anaknya, ia tidak lagi menoleh. Ada seorang guru yang ketika menyebut nama siswa atau siswinya, ia tidak lagi menjawab. Ada teman yang ketika menhubungi temannya, ia tidak lagi menghiraukannya. Bahkan ketika adzan berkumandang, ia tidak lagi peduli dan tidak mendengarkannya. Walya’udzubillah.
Menjadi penuntut ilmu tidaklah mudah di masa yang kritis seperti sekarang ini. Selain kurangnya adab, belajar daring juga menghiasi kita dengan segudang godaan. Mata tidak lagi beristirahat dengan tenang hanya karena begadang menatap layar kedepan. Perut selalu dibiarkan kosong begitu saja disebabkan malas yang merajai pergerakan. Badan tidak mengerjakan apa yang didengar telinga karena lebih memilih rebahan. Dan masih banyak kelalaian yang harus kita sadari mulai dari sekarang.
Perlahan demi perlahan kebiasaan akan membentuk jati diri kita. Waktu terus berjalan dan tidak bisa dihentikan sejenak dan sekehendak kita. Candu terus menggerogoti hati untuk berkeinginan melakukan hal-hal yang bagi kita mungkin itu adalah hiburan. Sekali duakali kita saksikan. Namun seiring berjalannya waktu, jari kita menggulir apa-apa saja yang ternampakkan dan menjadikan itu adalah satu-satunya tontonan.
Benda ini sama sekali tak bisa lepas dari genggaman kita. Namun kita yang harus bangun dan menghidupkan keyakinan kita bahwasanya Allah adalah Al Bashir, Maha Melihat. Jangan jadikan kalimat “Because I am Human” sebagai titik terakhir kita untuk menjalani hidup. Manusia memanglah tempatnya salah dan lupa tapi bukankah kehidupan diciptakan karena ada maksud dan tujuan?
Aisa
Mahasiswi Putri STIBA Makassar Angkatan 2018

ماشاء الله بارك الله فيكم 🌹
BalasHapusما شاء الله. الله يبارك فيك🌹🌹🌹
BalasHapusرائعة
BalasHapusماشاء الله بارك الله فيكم
BalasHapus