Kisah ini terangkat dari kisah nyata yang
menginspirasiku, sosok muslimah yang memutuskan berhijrah dibalik mewahnya
dunia namun, ia memilih dalam kesederhanaan dari apa yang mustahil namun, menjadi mustajab lewat do'a-do'a.
Terlahir di tengah keluarga yang masih
awam menjadi tantangan tersendiri untuknya dalam berhijrah ditambah lingkungan
yang masih kurang mendukung bahkan ia yang bersekolah di sekolah negeri umum
yang pelajaran agamanya mungkin bisa dikatakan hanya dua jam dalam sepekan.
Suatu hari ketika ia berada di sekolah,
salah seorang gurunya memperlihatkan sebuah video perjuangan seorang dosen
penghapal Al-Qur'an, ia sangat takjub dengan dosen tersebut. Wajar saja dosen
itu tak sempurna seperti manusia pada umumnya tidak memiliki tangan dan kaki,
hanya menggunakan kursi roda untuk membantunya dalam mengajar dan tentunya
dalam menghapalkan Al-Qur'an. Saat itu ia berpikir, jika dosen itu saja yang
memiliki kekurangan pada fisiknya tetap mampu semangat untuk terus bersama
Al-Qur'an dan menghapalkannya setiap hari bagaimana mungkin seseorang yang
masih memiliki tangan juga kaki sangat jauh dari Al-Qur'an. Pemandangan para
penghapal Al-Qur'an yang juga sering ia lihat di televisi menjadi perhatian
menarik untuknya, ada harapan kelak ia bisa seperti mereka.
Setelah hari itu, hatinya tergerak
mencari-cari sekolah penghapal Al-Qur'an. Meskipun kala itu dibenaknya penjara
suci itu atau sebut saja pesantren adalah tempat yang tidak menyenangkan, punya
banyak aturan, jarang ketemu keluarga, pokoknya jauh dari lingkungannya yang
masih bebas. Tapi, hanya itu yang dapat ia lakukan agar bisa fokus bersama
Al-Qur'an ialah berasrama jauh dari kemewahan dunia. Ia lalu mencoba berdiskusi
bersama orang tuanya, awalnya mereka tidak menyetujui keputusannya namun, ia
terus mencoba meyakinkan mereka hingga akhirnya mereka setuju.
Keesokan harinya ia dan keluarganya
berangkat untuk mendaftar disalah satu sekolah penghapal Al-Qur'an yang ia
harapkan juga. Meski di tengah hujan deras tak membuatnya berhenti. Sesampai di
sekolah itu ada kabar mneyedihkan yang mengahampirinya, bahwa pendaftarannya telah tertutup dari dua bulan
yang lalu, ia masih berharap masih ada kesempatan untuk bisa masuk di sekolah
itu dan kesempatan itu benar ada dan akhirnya ia dites, salah satunya dengan membaca
Al-Qur'an, ia pun membacanya ala-ala orang awam yang belum belajar tajwid kala
itu dan setelah itu mereka pulang dan menunggu hasilnya.
Sepekan kemudian ia mendapatkan info dari
sekolah tersebut bahwa ia diterima menjadi salah satu murid di tempat itu,
berusaha menghilangkan segala keraguannya dan memperbaiki niat. Ia juga harus
bisa seperti mereka, menyelesaikan hapalan Qur'annya, mendapat gelar mulia dari
Sang Kekasih Allah, serta mahkota yang ingin ia persembahkan kepada kedua orang
tuanya kelak In syaa Allah.
Tak terasa waktu berlalu, ia menjalani
hari-harinya dalam sebuah pondok pesantren yang membuatnya mengerti arti
kemandirian, sabar, ikhlas dan yang paling penting adalah ketenangan bersama
Al-Qur'an yang bisa didapatkan.
Dari kisah ini kita belajar, tak ada yang
mustahil jika Allah berkehendak, setiap niat yang baik akan berbuah indah
dengan usaha serta do'a dan keikhlasan. Memang tak ada manusia yang memiliki
kesempurnaan namun, manusia berhak belajar dari sesuatu yang tak bisa menjadi
bisa, dari yang tak tahu menjadi tahu. Semoga kisah ini bisa menginspirasi
untuk kalian yang membacanya.
Mahasiswi STIBA Makassar (angkatan 2017)

Komentar
Posting Komentar