Perisai Hati yang Terabaikan
(Zahra Zahirah)
“Ya Rabb, jadikan aku hamba yang zuhud terhadap dunia, dan lindungi hamba dari segala bentuk penyakit hati...”
Untaian kalimat ini menjadi salah satu permohonanku yang tak pernah lekang.
Berangkat dari kerisauan hati melihat gerak kehidupan yang semakin tak beraturan, hasutan agen kejahatan yang tak pernah diam ketika melihat anak Adam tenang dalam balutan keimanan.
Saat ini kita tengah menapaki waktu di mana penyakit hati seperti syahwat dan syubhat tersiar luas, misi para rezim purba yang menjebak kepada pusaran kehinaan yang terus dijalankan dengan konsisten.
Bait munajat yang tercipta dari kerisauan bukanlah hal yang menjadi komponen utama dalam penjagaan hati dari yang menjangkitinya. Tiada berarti jika usaha menjaga hati hanya dengan memohon tanpa bertindak. Bukankah dalam firman-Nya
اِنَّ اللّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
“...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra'd:11)
Adalah sebuah sandiwara ketika keinginan digapai dengan cara yang justru memalingkan tujuan utama dalam mencapainya. Inginnya kemuliaan, namun kefasikan yang menjadi pegangan.
Hasad, sombong, memandang rendah orang lain... tak jarang menjadi sikap yang datang tanpa permisi. Kita menyadari bahwa semua perangai itu menyimpangi natur, tidak pantas tuk dibiarkan. Namun, apa yang menjadi tindakan kita untuk mengingkarinya?
Apakah dengan paradigma mengingkari syahwat dan syubhat itu saja sudah cukup? Wallaahi, tidak saudariku. Pribadiku seringkali resah dengan perilaku keji itu, dan doa menjadi satu-satunya caraku untuk menangkalnya. Yang pada nyatanya tidak terlalu memiliki pengaruh—karena tanpa tindakan nyata yang mengiringi.
Hingga, satu nasihat datang dan menyadarkanku bahwa selama ini ada perisai hati terkuat yang ku abaikan: ialah Asy-syifa, Al-Qur'an sang penentram jiwa. Di mana petunjuk, penyembuh, dan ketenangan spiritual yang hakiki terdapat padanya.
Betapa seringnya kita telah mendengar bahwa Al-Qur'an adalah obat. Tapi seberapa sering kita telah meyakininya?
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ
“Wahai manusia! Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'an) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yusuf: 57)
Tetapi, ada satu hal yang menjadi aspek penting dalam menjadikan Al-Qur'an sebagai penyembuh: yakni keimanan. Ketika seseorang menjadikan Al-Qur'an sebagai obat, akan tetapi tidak memiliki pengaruh apapun, itu bukan berarti Al-Qur'annya yang salah—melainkan karena keimanannya yang kurang. Ntah yang diobati maupun yang mengobati.
Karena dengan Al-Qur'an, hati yang terkontaminasi oleh syahwat dan syubhat akan kembali pada fitrahnya yang senang akan kebaikan. Karena di dalam Al-Qur'an terdapat petunjuk... hati yang tersesat akan kembali pada jalan menuju ridha-Nya.
—Zahra Zahirah—
✧˖˚ ༘♡ ·˚ ₊˚ˑ..⃗.🕊•῾ ᵎ⌇ ࿔*:・゚
Komentar
Posting Komentar