Dari Lembaran Sirah Menuju Raudhah
Dulu, aku bukanlah orang yang gemar membaca buku. Kalaupun ada yang
menarik minatku, biasanya itu buku bergambar, seperti komik. Namun, segalanya
berubah ketika aku memasuki dunia mondok saat SMA. Aku memilih untuk bersekolah
di pondok pesantren agar bisa fokus menghafal Al-Qur'an dan mendalami ilmu
agama.
Salah satu mata pelajaran di pondok adalah Sirah Nabawiyah. Buku
sirah yang digunakan berjudul Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Syaikh
Syafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. Buku ini menjadi pintu pembuka yang mengubah
pandanganku tentang membaca. Buku yang tebal dan penuh dengan tulisan ini
mengisahkan perjalanan hidup Nabi Muhammad ﷺ
dari lahir hingga wafat. Awalnya, aku menganggapnya sebagai buku pelajaran
biasa dan hanya mempelajarinya dengan niat sekadar ingin tahu. Namun, segalanya
berubah ketika pondok pesantrenku mengadakan acara nonton bareng dan film yang
ditayangkan adalah tentang Sirah Nabawiyah. Tentu saja, aku sangat antusias,
apalagi menontonnya bersama teman-teman santriwati.
Menonton bersama para santriwati adalah pengalaman yang seru. Kami
tertawa bersama saat ada adegan lucu, menangis bersama saat ada adegan sedih,
bahkan berteriak bersama saat menyaksikan adegan perang yang menegangkan. Yang
paling menarik, aku bisa mencocokkan apa yang telah kubaca di buku sirah dengan
apa yang ditayangkan dari film tersebut.
Dari sana, tumbuhlah rasa penasaran yang semakin besar tentang
kehidupan Rasulullah ﷺ. Rasa penasaran itu
mendorongku untuk mulai gemar membaca buku, meskipun awalnya hanya buku sirah.
Ternyata, begitu banyak hal yang belum kuketahui tentang sejarah hidup beliau ﷺ.
"Kemana saja aku selama
ini?" pikirku.
Di akhir penayangan film, tumbuh rasa cinta yang mendalam kepada
Nabi Muhammad ﷺ. Pepatah "Tak
kenal maka tak sayang" ternyata benar adanya. Saat belajar sirah di kelas,
aku merasa seolah-olah hidup di zaman beliau ﷺ
berkat kemahiran ustazah dalam menyampaikan materi. Tidak hanya sampai disitu,
aku tidak membatasi diri pada satu buku saja, aku pun mulai tertarik untuk
membaca buku-buku sejarah Islam lainnya.
Seiring berjalannya waktu, rasa cinta itu bermetamorfosis menjadi
rindu. Rindu kepada sosok yang berjuang membawa risalah Islam, kepada sosok
Al-Amin yang memiliki akhlak Qur’ani, kepada sosok yang merindukan umatnya
meski belum pernah bertemu dengan kita semua. Setiap kali namanya disebut, air
mata tak terbendung karena rinduku yang begitu mendalam,
"Yaa Rasulullah, aku ingin berjumpa denganmu."
Sebab dari kisah beliau, aku dikuatkan. Dari kisah beliau, aku
meneladani akhlaknya dan berusaha mengamalkannya dalam keseharianku. Dan dari
kisah beliau, aku juga merindukan dua tempat suci yang menjadi saksi dakwah
Rasulullah ﷺ dan ingin sekali beribadah di sana.
Alhamdulillah, Allah Ta’ala mengabulkan rinduku dengan memanggilku
untuk beribadah di dua kota suci-Nya, Makkah dan Madinah. Saat memasuki kota
Madinah maupun Makkah, rasanya aku terseret ke masa lalu. Makkah, kota
kelahiran Rasulullah ﷺ, tempat awal dakwah
beliau yang penuh dengan perjuangan. Di sini, beliau dihina, disiksa, bahkan
diasingkan oleh kaum jahiliah hingga terpaksa hijrah ke Madinah. Namun, setelah
beberapa tahun, beliau kembali ke Makkah dan membebaskan kota tersebut dalam
peristiwa Fathul Makkah yang termaktub dalam buku sirah.
Dulu di Madinah, Rasulullah ﷺ
dan para sahabatnya membangun Masjid Nabawi, tempat mereka salat berjamaah,
salat malam berjam-jam dengan air mata takut dan harap. Di sini juga, pusat
dakwah dan ilmu, tempat Rasulullah ﷺ
mengajarkan Islam dan merancang strategi dakwah serta perang bersama para
sahabat.
Kedua kakiku kini berpijak di halaman Masjid Nabawi. Dari kejauhan,
kupandangi kubah hijau yang indah nan megah, di bawahnya, Rasulullah ﷺ dan kedua sahabatnya dimakamkan. Aku
tertegun melihat banyaknya umat beliau yang rela mengantri lama untuk berziarah
ke sosok yang menyandang gelar uswatun hasanah itu.
"Yaa Rasulullah, begitu
banyak umatmu, apakah kelak aku pantas bertemu denganmu?" pikirku
sepanjang antrian menuju Raudhah.
Berusaha tetap tenang, aku berzikir meski jiwaku sudah tak sabar
memasuki tempat mustajab itu. Aku berdoa agar Allah memudahkan langkahku untuk
bertemu Rasulullah ﷺ di Raudhah, Masjid
Nabawi. Ketika akhirnya berada di dekat makam beliau, dengan hati penuh haru,
aku mengucapkan salam,
"السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ ورحمةُ اللهِ وبركاته"
Tangisku pecah. Tak terbayangkan aku bisa berada dalam satu ruangan
dengan sosok yang kurindukan selama ini. Tak terbayangkan aku bisa menyusuri
dan menyaksikan langsung berbagai tempat bersejarah dari lembaran sirah yang
kubaca. Tak terbayangkan rindu kepadanya bisa membawaku sejauh ini.
Semoga aku dan seluruh umat yang merindukanmu dapat bertemu dan mendapatkan syafa'atmu atas izin Allah di akhirat kelak, yaa Rasulullah ﷺ.
Fatimah Az-Zahrah Idris

ماشاءالله، ولا شوق إلا الشوق إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم
BalasHapus