Catatan Luka : Selimut Tipis Tua
Dibawah selimut tipis tua yang sudah menemani sejak kecil udara dingin masih menembus tulang-tulang, aku masih terbaring nyaman dengan mata setengah terbuka. Aroma pagi khas desa yang sangat kusukai masih sama. Ah, semoga tak akan berubah, batinku membangga. Dilangit rupanya hujan sedang mereda, negri dengan tanah tropis lengkap dengan musim hujan di awal tahun selalu mejadi hal mendebarkan disetiap penjuru pertiwi. Kicauan burung sudah ramai memenuhi langit, bermaksud mengembalikan ruh pagi yang beberapa hari terbendung mendung hujan kepagian.
Ahad hari ini adalah hari kebimbangan semua pejuang, ingin beristirahat namun malu karena menyebut diri sebagai pejuang, ingin tetap bergerak namun juga terlalu lelah karena katanya enam hari penuh sudah berjuang.
Di bawah selimut tipis tua aku termenung dalam. Rasanya masih terekam jelas, pada tahun-tahun dimana aku mencatat luka negri orang yang sedang berduka. Negri yang tengah berperang hebat dan berkepanjangan demi menjunjung kalimat tauhidnya, catatan ini selalu membuatku tersengguk dan murka.
Negri tandus yang selalu dilanda lapar yang menyiksa, tak terbayang jika tak makan sehari saja, rasanya tak akan kuat. Catatan ini selalu melelehkan hatiku untuk bersyukur sujud dengan apa yang masih terhidang didapurku hari ini.
Catatanku sudah cukup panjang hingga sampai pada catatan pagi ini. Tentang negri yang sedang berduka sedalam-sedalamnya. Wabah yang entah datang dari mana sudah menetap lama dan tak kunjung baranjak pergi, hebatnya ia menoreh luka dari segala arah, merenggut nyawa, menutup sekolah, membubarkan keramaian, dan menciptakan perang antar saudara. Tak sampai disitu, alampun sedang dilanda murka dan memuntahkan amarah. Menghempaskan orang-orang yang sedang berjalan dilangit, jatuh dan menenggelamkannya dilautan dalam. Lukanya bukan main perihnya, ia memaksa daratan yang ditinggalkan untuk ikhlas melepaskannya. Airpun sedang tidak tenang dan meluap kemana-mana, menenggelamkan kehidupan dan menghanyutkan harapan, seakan ia dan manusia tidak ingin lagi bersaudara. Tanah juga bertingkah tak biasa, dia berguncang hebat dan meruntuhkan apa saja yang berpijak padanya, meneriakkan panik dan menghilangkan damai. Ah, ada apa dengan dunia, batinku bukan terpana.
Dibawah selimut tipis tua, aku tersentak hampir sesenggukan, setelah kulihat kembali judul catatanku "Indonesiaku sedang berduka".
Aina Al-mafar
Mahasiswi Putri STIBA Makassar angkatan 2018
Maa syaa Allah
BalasHapussangat menyentuh💕💕 😭
Cepat pulih negriku >_<
BalasHapusMaasyaaAllah💐
BalasHapusBaarakallah..
BalasHapus